“Ukir Prestasi, Raih Jati Diri Dengan Usaha, Rasa Cinta, dan Penuh Keikhlasan Kepada-Nya [U Can, If U Think U Can]"

Tuesday, July 29, 2008

UN : Antara Harapan dan Kenyataan

Banyak protes keras yang dilontarkan oleh masyarakat terutama siswa atau siswi kepada pemerintah tentang Ujian Nasional (UN), hal ini terbukti dengan berunjuk rasanya seluruh pelajar kota Lhoksemawe tentang adanya UN. Tapi belum ada tanggapan bijak oleh pemerintah tentang hal itu. Ini merupakan masalah pendidikan yang berujung pada aspek permasalahan sosial yang harus segera diatasi. Kemudian, sampai tahun 2008 hingga pelaksanaan UN 22-24 April sampai usainya pelaksanaan UN yang telah diadakan namun masalah ini juga belum menuai jawaban yang memuaskan semua kalangan dan masih kontroversi baik dari sisi konsep ataupun aplikasi. Walaupun demikian, seiring dengan waktu yang berjalan UN tetap diadakan bahkan di kota Banda Aceh 65.636 siswa dan siswi mengikuti UN. Kemudian, Tulisan ini mencoba mendudukkan peran dari UN sebagai evaluasi pendidikan, serta harapan dan kenyataan dengan secara proporsional dan sistematis.

Dasar Ujian Nasional
UN yang didasarkan atas PP 19 tahun 2005 pasal 63 ayat (1) yang menyatakan penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik, b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan c. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk UN.
Selanjutnya, UN yang diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) diikut sertai oleh peserta didik SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB dan MAK yang terdapat dalam peraturan Mendiknas RI No. 20 tahun 2005. Sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 20 tahun 2005 pasal 9 ayat 1, 2 dan 3. Soal UN diambil dari Bank soal dengan memperhatikan standar kompetensi kelulusan atas bank soal yang disusun berdasarkan kurikulum 1994 dan kurikulum 2004.
Pada pelaksanaan UN, Sekolah atau Madrasah penyelenggara UN harus melibatkan dua orang unsur independen. Tugas independen tersebut ialah memantau, menerima, menyimpan soal, pelaksanaan pengawasan, pengumpulan lembar jawaban dan mengiriman lembar jawaban ke penyelenggara UN kabupaten atau kota.
Sebenarnya tujuan UN adalah (1) mengukur pencapaian hasil belajar siswa, (2) mengukur mutu pendidikan nasional, provinsi, kabupaten atau kota dan sekolah, (3) mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten atau kota dan sekolah kepada masyarakat. Kemudian, juga tujuan UN adalah juga menilai kualitas pendidikan di tanah air secara makro, pemetaan dan pembinaan sekolah yang rendah dalam pencapaian standar.

Keunggulan dan Kelemahan UN
Ada beberapa faktor keunggulan yang menjadi harapan, mengapa UN tetap dilakukan walaupun banyaknya protes keras dari masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah 1) Sebagai alat penjamin mutu pendidikan baik dari sekolah atau dinas pendidikan di suatu daerah. Hasil evaluasi tersebut dipergunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dari hasil tersebut diperoleh peringkat kedudukan satu sekolah dengan sekolah yang lain, akibatnya secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh pemerintah pusat, dan kekhawatiran terjadi rentan mutu sekolah yang satu dengan yang lainnya dapat dihindari. 2) Sebagai pengendali mutu pendidikan “quality control” yang bermuara pada pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. 3) Sebagai sarana untuk memunculkan dan memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa maupun guru. 4) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan tamat belajar dan predikat prestasi siswa. 5) Sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang yang lebih tinggi. 6) Sebagai alat evaluasi independen yang lebih objektif dibandingkan alat pengukuran lokal, dan 7) Sebagai sarana untuk memberikan motivasi pada guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga guru lebih tertantang untuk maju serta lebih bertanggung jawab dan profesional dalam mengantarkan keberhasilan siswa.
Kemudian, juga terdapat kelemahan UN yang sangat mendasar sehingga UN tidak dapat dijadikan sebagai alat akselerasi mutu pendidikan di Indonesia. Kelemahan tersebut adalah
1) Sistematika penyelenggaraan UN tidak sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa “evaluasi hasil peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”, Oleh karena itu yang mengevaluasi dan memantau proses intelektual anak didik adalah pendidik, bukan DEPDIKNAS ataupun BSNP. Karena tugas Depdiknas adalah mencari, mengelola, menguji dan meluluskan siswa. Kemudian, bila Depdiknas juga dijadikan sebagai penyelenggara UN, maka kemungkinan kelulusan akan 100 %, karena kepentingan Depdiknas adalah untuk meluluskan. Tentunya, kemungkinan akan diluluskan semua, hal ini bertentangan dengan hasil sidang komisi II Rakornas Revitalisasi pendidikan yaitu empat sifat UN, post, achievement, examination dan determinant. Begitu pula BSNP tugas pokoknya yaitu pengembang, pemantau dan pengendali standar mutu pendidikan. Bila dilihat BSNP pasti juga berkepentingan untuk meluluskan semua siswanya, karena BNSP juga mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan pendidikan yang dinilai melalui evaluasi UN. Sebenarnya, pada pasal 58 ayat (1) menjelaskan kontribusi dan peran guru dalam penentuan kelulusan anak didik sangatlah penting, karena guru yang melihat, mendidik, membina mental dan intelektual anak didik, singkatnya gurulah yang lebih tahu tentang potensi-potensi peserta didiknya.
Selain itu juga Pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa “standar pendidikan nasional terdiri atas standar isi, proses, kompetisi kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Pasal 35 ayat (1) ini menjelaskan “kompetisi kelulusan” merupakan kualifikasi kemampuan kelulusan yang mencakup pengetahuan (kognitif). sikap (efektif) dan keterampilan (psikomotoris), tetapi pada kenyataannya evaluasi pada jenjang pendidikan UN hanya menilai pada satu aspek yaitu pengetahuan (kognitif), seharusnya secara simultan ketiga kompeten tersebut harus dievaluasi pada seorang siswa. Selanjutnya, jelaslah bahwa kompetensi siswa tidak bisa ditentukan oleh aspek sikap (Kognitf) saja dalam menentukan kelulusan seorang siswa.
2) Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa “kurikulum pendidikan dasar menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan kejuruan dan muatan lokal”. Kata “wajib” merupakan suatu bentuk yang wajib dilaksanakan dan diajarkan pada siswa, konsekuensinya materi tersebut menjadi indikator sebuah kelulusan siswa, kenyataannya pemerintah hanya menguji siswa pada enam bidang studi yang dijadikan indikator kelulusan peserta didik secara nasional.
Dari paparan diatas, jelas bahwa UN yang telah dilakukan oleh Depdiknas dengan pengontrol BSNP telah bertentangan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pada pasal 58 ayat (1) tentang siapa sebenarnya yang berhak mengevaluasi siswa, kemudian pasal 35 ayat (1) tentang kualifikasi kompetensi kelulusan, selanjutnya pasal 37 ayat (1) yang menjelaskan tentang materi-materi yang sebenarnya wajib dievaluasikan sebagai kelulusan seorang siswa.
3) UN saat ini hanya diprioritaskan untuk mendapatkan ijazah bukan mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemandirian, kecakapan dan keterampilan siswa dalam kehidupan sehari-hari, singkatnya sekolah saat ini bukan menjadi sebagai lembaga pendidikan tetapi tempat bimbingan belajar untuk bisa lulus dari sebuah tes. Secara manajeman memang benar bahwa seseorang yang tidak ikut ujian nasional tidak akan mendapatkan izajah akan tetapi ada nilai mental yang terkandung dalam pemaknaan sebuah izajah. Kemudian, UN akan membatasi siswa dalam satu bidang tertentu dan juga akan membatasi keinginan yang ada pada diri siswa, sehingga siswa tidak kreatif dan juga siswa sulit untuk mengembangkan kreatifitasnya sesuai dengan potensi fitrahnya.
4) UN bukanlah alat pengukuran kemampuan siswa, melainkan alat untuk mengukur keberuntungan siswa dalam mengisi lembar jawaban. Soal dengan model pilihan ganda “multiple choice” tidak memberikan kesempatan berfikir kreatif pada siswa karena jawabannya sudah tersedia. Selain itu, sangat tidak rasional mengukur kemampuan siswa hanya berlangsung dalam waktu dua jam dengan ketegangan yang tidak bisa dihindari siswa, dan saat itu juga semua siswa di seluruh Indonesia sedang diuji dengan materi yang sama, padahal kemampuan siswa berbeda.
5) UN dengan evaluasi enam disiplin pelajaran ditambah lagi dengan nilai standar ketuntasan yang cukup tinggi membuat sebahagian siswa trauma akan UN.
6) UN dengan sistem passing grade yang diberlakukan secara nasional telah mengabaikan disparitas kondisi masing-masing daerah. Tentu saja siswa yang belajar di Jakarta dengan sarana dan kondisi fasilitas yang lengkap, akan mampu mencapai prestasi belajar yang maksimal dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di daerah konfik dan jauh dari modernisasi seperti Aceh, Ambon, Irian Jaya, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya. Apabila sistem ini terus berlanjut, ketimpangan yang terjadi antara kaya-miskin, pusat-daerah, desa-kota akan semakin nyata teraplikasikan. Pendidikan tetap saja menjadi sebuah hal yang utopis bagi sebagian kecil rakyat Indonesia yang tidak mampu sehingga mereka terus saja termajinasisasikan. Sebenarnya, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

Refleksi Pendidikan
Sederet argument di atas, kiranya dapat dijadikan alasan agar kita lebih memikirkan pendidikan khususnya pada evaluasi pendidikan sekarang ini yaitu UN. Perlukah kita melakukan pembenahan pada evaluasi pendidikan? Ataukah kita tetap melaksanakan evaluasi pendidikan dengan sistem yang sudah ada? Setidaknya alasan tersebut dapat menjadi refleksi pendidikan bagi pemerintah kita agar hasil pendidikan di tanah air kita bermutu. Semua berpulang kepada pemerintah sebagai penampung dan pelaksana agar aspirasi kita terlaksana, yang terpenting pendidikan kita harus lebih baik dari sebelumnya. ONE ASPIRATION FOR BETTER EDUCATION!!!!!!!!

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

Silakan Tinggalkan Pesan di Blog Rian

 
rianprestasi.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com