“Ukir Prestasi, Raih Jati Diri Dengan Usaha, Rasa Cinta, dan Penuh Keikhlasan Kepada-Nya [U Can, If U Think U Can]"

Tuesday, September 9, 2008

Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Di bulan itu, masjid-masjid semarak dikunjungi jamaah. Demikian pula hari Iedul Fitri. Kedatangan hari raya itu disambut dengan penuh kebahagiaan. Namun di tengah kebahagiaan itu, masih terselip persoalan yang cukup mengganjal. Hampir setiap tahun, momentum penting itu diwarnai perbedaan di antara umat Islam. Kendati umat Islam mulai terbiasa dengan perbedaan awal puasa dan Idul Fitri, namun sesungguhnya kebersamaan tentu lebih didambakan.
Umat Islam tentu lebih senang jika mereka bisa serentak mengawali dan mengakhiri puasa, mengumandangkan takbir, melaksanakan shalat Iedul Fithri, dan merayakannya secara bersama-sama. Suasana itu tentu amat berbeda jika dalam satu kampung atau kota ada masjid yang masih menyelenggarakan shalat tarawih, sementara masjid di sampingnya sudah mengumandangkan takbir untuk menyambut sholat ied. Keesokan harinya ada yang sudah menunaikan sholat dan mengeluarkan jamuan makan, sementara lainnya masih berpuasa.
Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru'yah al-hilâl orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru'yah al-hilâl, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya --bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun-- terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Kebanyakan rakyat di negeri itu pun tunduk pada pengumuman pemerintah tersebut. Walhasil, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadlan antara negeri-negeri muslim.

Kewajiban Puasa dan Sabab-nya
Telah maklum bahwa puasa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ *شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).
Berdasarkan ayat dan Hadits tersebut, puasa di bulan Ramadhan merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara' tidak hanya menjelaskan status hukumnya puasa Ramadhan bahwa ibadah tersebut adalah fardhu ‘ain, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara' menjelaskan bahwa ru'yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad 4258, al-Darimi 1743, al-Daruquthni 2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru'yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yatul hilal kendati berasal dari (kesaksian) seseorang yang adil atau menyempurnakan Syaban menjadi tiga puluh hari.”
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi yang adil. Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw, yakni diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, ôSungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hibban).
Dalam Hadits tersebut kesaksian seorang yang melihat bulan baru diterima setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).
Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra.

Bagaimana dengan Hisab?
Di samping ru’yat hilal, ada sebagian kaum Muslim yang berpendapat bahwa awal dan akhir puasa dapat ditetapkan berdasarkan hisab (perhitungan astronomis). Di antara beberapa argumentasi yang digunakan untuk melandasi pendapat tersebut adalah Pertama, beberapa ayat al-Quran yang menyebutkan penggunaan hisab dalam penetapan waktu. Seperti firman Allah Swt:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. (Qs. Yunus [10]: 5).
Ayat ini menujukkan bahwa Allah Swt. membolehkan kaum Muslimin menghitung tempat-tempat dan garis-garis edar matahari dan bulan, termasuk juga perhitungan waktu dalam hari, bulan dan tahun, pergantian musim dan lain-lain sebagainya. Sebagai salah satu bulan, Ramadhan bisa juga ditetapkan dengan memperhatikan perjalanan bulan. Atas dasar itu, maka penentuan awal dan akhir Ramadhan bisa dilakukan dengan cara perhitungan (hisab).
Kedua, perintah melakukan ru’yatul hilal pada zaman Rasulullah saw disebabkan karena adanya sebuah ‘illah (sebab disyariahkan suatu hukum), yakni masih belum mengenal ilmu hisab. Dari Ibnu Umar Rasulullah saw bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Sesungguhnya kami ini adalah ummat ummi dan tidak menulis dan menghisab. Bulan itu adalah begini dan begini, yakni, kadang-kadang 29 hari kadang-kadang 30 hari (HR. Imam Bukhari no. 1780; dan Muslim no. 1806, Abu Dawud no. 1975; al-Nasai no.2112; dari Ibnu Umar ra dengan Lafadz Bukhari)
Menurut Hadits ini, umat Islam saat itu dalam keadaan ummi. Mereka tidak bisa menulis dan tidak mengetahui ilmu hisab. Keadaan mereka yang ummi itulah yang diduga sebagai ‘illah diperintahkannya ru’yatul hilal dalam menetapkan awal dan akhir puasa. Karena keadaan itu yang menjadi ‘illah-nya, maka tatkala ‘illah itu sudah tidak ada, maka ru’yat hilal tidak lagi diperintahkan. Untuk mengetahui awal dan akhir puasa cukup dengan menggunakan hisab.
Ketiga, perintah menggunakan hisab juga bisa dipahami dari beberapa Hadits Nabi saw. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw:
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah. (HR. Muslim no. 1797; Ahmad no. 4258; al-Darimi, no. 1743; al-Daruquthni no. 2192).
Frase "faqduruulahu" dalam Hadits ini bermakna hitunglah. Itu berarti hadits ini menunjukkan kebolehan menetapkan awal Ramadhan dengan hisab.
Keempat, kata liru’yatihi (melihatnya), sebagaimana disebutkan dalam banyak Hadits tidak selalu bermakna melihat dengan mata. Di samping berarti melihat dengan mata, kata ra’â berarti juga berpikir atau berpendapat. Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra’â, bisa diartikan dengan memikirkan. Bisa diartikan bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab.
Kelima, penggunaan hisab sesungguhnya sudah banyak dipraktikkan kaum Muslim dalam perkara ibadah. Dalam penentuan waktu shalat, misalnya, kaum Muslim tidak perlu harus matahari, namun cukup dengan melihat jam yang dihasilkan dari perhitungan hisab. Pula, dalam praktek puasa sehari-hari. Dalam berimsak di pagi hari atau berbuka di sore hari, umat Islam tidak harus melihat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari di petang hari, namun cukup dengan mempercayakan hasil perhitungan hisab. Jika demikian, mengapa dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan tidak diperbolehkan didasarkan hisab?
Apabila ditelisik, pendapat tersebut termasuk lemah. Kelemahan itu bisa diteliti dari dalil dan argumentasi yang digunakan untuk menyimpulkan pendapat tersebut. Pertama, beberapa ayat yang digunakan sebagai dalil atas absahnya hisab sebagai penentu Ramadhan. Penggunaan ayat-ayat tersebut itu tidak tepat. Alasannya, ayat tersebut bersifat umum. Dalam nash yang bersifat umum, berlaku kaidah al-‘âm yabqâ ‘alâ‘umûmihi mâ lam yarid dalîl at-takhsîsh (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).
Berkenaan dengan penentuan awal Ramadhan, sebagaimana telah diungkap terdapat banyak nash sharih yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan harus berdasarkan ru’yat. Atas dasar itu, keumuman surat Yunus [10]: 5 telah dikhususkan oleh hadits-hadits di atas. Dalam kondisi semacam ini, kita harus berpegang pada kaidah ushul fiqh, “Dalil-dalil umum harus dibawa menuju dalil-dalil khusus bila ditemukan dalil yang lebih khusus”. Dengan demikian, mengamalkan dalil yang lebih khusus adalah kewajiban dan lebih utama.
Kedua, ‘illah diperintahkannya ru’yatul hilal yang didasarkan Hadits tentang ummi-nya kaum Muslim saat itu. Kesimpulan itu juga tidak tepat. Jika dicermati redaksional Hadits tersebut, sama sekali tidak menunjukkan adanya ‘illah ru’yat al-hilal. Hadits itu hanya memberitakan bahwa kondisi kaum Muslim pada saat itu; bahwa mereka adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung (hisab astronomis). Setelah itu kemudian beliau memberitakan jumlah hari dalam satu bulan. Adakalanya 29 hari, adakalanya 30 hari. Tidak ada satu pun lafadz yang menghubungkan antara kondisi yang ummi itu dengan perintah melakukan ru’yat. Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan bahwa kondisi mereka yang ummi menjadi ‘illah bagi perintah melakukan ru’yat.
Ketiga, kata “faqdurû lahu" yang ditafsirkan hitunglah. Apabila dibandingkan dengan dengan nash-nash Hadits lainnya, maka penafsiran itu tidak tepat. Selain menggunakan kata faqdurû lahu, dalam riwayat-riwayat lainnya digunakan lafadz faakmilû ‘iddah Sya’bân atau faakmilû al-‘iddah tsalâtsîna yang berarti genapkanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari.. Sebagaimana riwayat menyebutkan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.”
صُومُوا لِلرُّؤْيَةِ وَأَفْطِرُوا لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلاَثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari. [HR. al-Nasa’i].
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
Bilangan bulan itu 29 hari. Janganlah kalian berpuasalah hingga melihat bulan, dan janganlah kalian berbuka puasa hingga melihatnya, jika mendung, maka perkirakanlah (faqdurulah) (bulan Sya’ban) 30 hari. [HR. Imam Abu Dawud]
Bertolak dari Hadits-hadits di atas, penafsiran yang tepat terhadap kata faqdurû lahu adalah sempurnakanlah bilangan (faakmilû ‘iddah) bulan menjadi 30 hari, dan bukan menunjukkan perintah mengunakan hisab. Dengan kata lain, jika ru’yat telah dilakukan, namun terhalang mendung, maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Al-Syarakhsani menyatakan, “Makna kata taqdîr adalah ikmâl al-‘ddah sebagaimana Hadits yang telah dijelaskan.”
Di samping alasan tersebut, seandainya makna faqdurû lahu adalah hisablah, tentunya Rasulullah Saw tidak akan menyatakan kalimat, “Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi ada atau tidaknya mendung.
Keempat, kata liru’yatihi yang diartikan sebagai pendapat atau pemikiran. Pemaknaan itu jelas tidak tepat. Bila diperhatikan keseluruhan nash Hadits itu sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. Rasul bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776).
صُومُوا لِلرُّؤْيَةِ وَأَفْطِرُوا لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلاَثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.” (HR. an-Nasa’i).
Pada Hadits itu juga ada kata, “Jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”. Lafadz ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru’yat dalam nash tersebut berarti melihat dengan mata, bukan hisab. Sebab bila lafadz "ra’â" berarti hisab, maka keberadaan mendung (awan) sama sekali tidak menghalangi dilakukan hisab. Penafsiran itu juga akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya kami ini adalah ummat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” [HR. Bukhari]. Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah saw tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir "liru’yatihi" adalah menghitung, sementara Rasulullah Saw memnyatakan bahwa umatnya saat itu adalah umat yang ummi?
Kelima, kebolehan menggunakan hisab dalam perhitungan waktu shalat tidak bisa diqiyaskan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Dalam waktu shalat, al-Quran dan Hadits hanya menjelaskan waktu-waktu yang menjadi sabab dikerjakannya shalat. Seperti firman Allah Swt:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat) (QS al-Isra’ [17]: 78).
Ayat tersebut langsung menunjuk pada fakta tergelincirnya matahari, gelap malam, atau terbitnya fajar. Semua fakta itu ditetapkan sebagai sabab bagi pelaksanaan shalat. Sehingga, kendati faktanya tidak dilihat secara langsung, namun dapat diketahui melalui perhitungan hisab, maka itu bisa diamalkan. Berbeda dengan puasa. Syara tidak menetapkan awal dan akhir puasa dengan wujûd al-hilâl atau imkân al-ru’yah, namun dengan ru’yah al-hilâl sebagaimana telah dipaparkan.
Dengan demikian, argumentasi pendapat yang menyatakan absahnya penggunaan hisab untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan terbukti lemah. Di samping itu, terdapat nash yang menolak penggunaan selain ru’yah hilal sebagai sebagai penetapan awal dan akhir puasa.
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari 1773, Muslim 1795, al-Nasai 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
Hadits ini melarang kaum Muslim berpuasa dan berbuka hingga mereka ru’yatul hilal. Berpuasa yang hanya didasarkan pada perhitungan hisab, jelas termasuk dalam puasa atau berbuka yang tidak disebabkan karena ru’yah.
Terbukti pula bahwa rukyat adalah pendapat yang lebih kuat (rajih). Dari sini dapat disimpulkan, bahwa rukyat adalah metode yang ditetapkan syariat untuk penetapan awal dan akhir Ramadlan; bukan hisab. Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliah berpendapat ketidak bolehan bersandar kepada hisab astronomis dalam penentuan awal bulan qamariyah, dan bahwasannya dalam perkara ini wajib bersandar kepada ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) dengan penglihatan yang dilakukan di tempat pengamatan terbuka atau tinggi (Rinciannya lihat di dalam tafsir Al Qurtubiy 2/293 dan Al Muhadzab, Ibnu Yusuf As Siraziy jil I hal 179, Kasyful Qina’ oleh mansur bin Idris jil II hal 253, dan Al Lubab, Syarhu Al kitaab oleh ‘Abdul Ghaniy al Maidaniy jil I hal 163).
Kendati demikian, ilmu hisab bukan berarti tidak berguna . Ilmu tersebut bisa digunakan untuk membantu pelaksanaan ru’yah. Mulai dari posisi hilal yang hendak diru’yah, kapan kira-kira terbitnya, dan sebagainya.

Persoalan Mathla’
Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 4 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib. Diriwayatkan dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata:
فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilan-gan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.”
Inilah hadits yang dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat mereka adalah pendapat yang lemah. Kelemahan pendapat mereka didasarkan pada alasan-alasan berikut ini.
Pertama, dalam Hadits ini mengandung syubhat, apakah Hadits ini tergolong sebagai Hadits marfu’ atau Hadits mauquf. Ditilik dari segi lafadznya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw" (demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami”), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfu’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits yang marfu’ perlu dipertanyakan.
Jika dicermati, perkataan Ibnu Abbas “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban atas pertanyaan Kuraib tentang perbedaan antara penduduk Madinah dan Syam dalam mengawali puasa. Perbedaan itu disebabkan karena perbedaan hari dalam meru’yat hilal. Ketika ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti saja rukyat penduduk Syam, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Menilik kisah tersebut, maka pertanyaan penting yang patut diajukan adalah, apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu? Atau itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan? Sampai di titik ini, terdapat syubhat mengenai marfu’ atau mauquf-nya Hadits ini. Hal ini berbeda dengan Hadits-hadits lain yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw” dan tidak mengandung syubhat ke-marfu’-annya, seperti Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfu’. Sebab, Hadits berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau atas suatu kasus yang terjadi masa beliau. Oleh karena itu, tidak aneh jika sebagian ulama menggolongkan Hadist ini sebagai Hadits Mauquf. Al-Syaukani misalnya, menyatakan, “Ketahuilah yang layak dijadikan hujjah adalah yang marfu’ dari Ibnu Abbas, bukan ijtihadnya yang dipahami orang-orang. Hal itu ditunjukkkan perkataannya, ““Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw”

Dengan menilik riwayat tersebut, tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu.
Adanya ungkapan yang disandarkan kepada Rasulullah saw, seperti ungkapan amaranâ Rasûlullâh saw tergolong sebagai Hadits marfu’, seperti Hadits Rasulullah saw:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami berkait dengan zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
namun bila kita bandingkan riwayat-riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas sendiri, maka terlihatlah bahwa perkataan Ibnu ‘Abbas itu adalah hasil ijtihad beliau sendiri, bukan riwayat marfu' dari Nabi saw. Ibnu ‘Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi Saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي بَكْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ
“Dari Ibnu 'Abbas ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.”
Atas dasar itu, hadits dari Kuraib adalah ijtihad pribadi Ibnu ‘Abbas; sedangkan ijtihad shahabat tidak sah dijadilan sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
Kedua, Hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithabnya (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum Muslim. Kata "shûmû liru’yatihi" adalah lafadz umum. Artinya, bila satu daerah telah melihat bulan, maka wilayah yang lain harus berpuasa atau berbuka karena hasil ru’yat daerah tersebut.
Seruan as-syari' (pembuat syari'at) pada hadits-hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Iraq. Lafadz-lafadz hadits tersebut datang dalam bentuk umum karena menggunakan dhomir jama'ah (kata ganti plural/jamak, berupa wawu jama'ah) pada kata shûmû dan afthirû menunjukkan atas umumnya kaum muslimin atau seluruh kaum muslimin. Disamping itu, lafadz liru’yatihi (karena melihatnya) adalah isim jenis (kata benda jenis) yang di-mudhof-kan (disandarkan) kepada dhomir (kata ganti). Bentuk seperti ini menunjukkan bahwa ru'yatul hilal itu bisa dilakukan oleh siapa pun.
Dengan demikian, hadits-hadits tersebut mengandung pengertian bahwa terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang muslim di mana pun ia berada, mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk berpuasa atau berbuka, tanpa terkecuali. Tidak ada perbedaan antara negeri satu dengan negeri yang lain atau muslim satu dengan muslim yang lain. Hal ini disebabkan, siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru'yatul hilal maka ru'yat tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain. Pembagian dan batas-batas yang dibuat oleh orang-orang kafir di negeri-negeri kaum muslimin tidak bernilai. Garis batas dan sekat-sekat nasionalisme itulah yang membuat kaum muslimin di Surabaya berpuasa, sedangkan pendudukan Kuala Lumpur berbuka. Kaum muslimin di Amman (Yordania) sudah merayakan iedul fitri, sedangkan di Damaskus (Syiria) masih berpuasa. Padahal antara dua kota itu sama sekali tidak ada batas, kecuali batas khayal yang dibuat oleh orang-orang kafir semenjak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah dan adanya upaya keras oleh para penguasa untuk mempertahankan garis batas tersebut. Nasionalisme itulah yang mengoyak-oyak kesatuan muslimin dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.
Imam asy-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitab (pembicaraan) yang tertuju kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yat penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”
Imam asy-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”
Oleh karena itu ketika penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa berdasarkan rukyat negeri tersebut; sebab, Rasulullah Saw bersabda, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yat itu berlaku bagi mereka semuanya.
Imam ash-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah "apabila ru’yat didapati di antara kalian". Hal ini menunjukkan bahwa ru’yat pada suatu negeri adalah ru’yat bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”
Shiddiq Hasan Khan berkata, “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Ini didasarkan pada hadits-hadits sharih yang menyatakan masalah ini, yakni "karena melihat hilal dan berbuka karena hilal’ (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat. Oleh karena itu, barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yat itu untuk semuanya …”
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, dimana beliau berkata:
“Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yat tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan diantara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan", sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”
Secara normatif sekitar tiga belas abad lalu, tiga Imam Madzhab --Maliki, Hanafi dan Hambali-- telah menggariskan wajib atas kaum Muslimin dimanapun berada, memulai puasa Ramadhan pada hari yang sama. Dasar penetapannya, tak lain adalah “ru’yatul hilal” (penyaksian bulan sabit) yang mana hukum ru’yat tersebut menjadi fardhu kifayah atas kaum kuslimin di setiap negeri Islam.
Menurut Imam Malik, apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat bulan sabit Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yat tersebut. Atau melakukan qadla puasa jika berita itu datangnya terlambat (Lihat Tafsir Al Qurthuby, Jld. II hal. 296).
Sementara dalam Kitab Ad Durul Mukhtar wa Raddul Muhtar Jld. II hal. 131-132, dari Imam Hashfaky, tercantum pendapat madzhab Hanafi yang menyatakan: “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.
Sedangkan menurut Imam Ibnu Hanbal (madzhab hanbali), apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan. (Mughnil Muhtaj, Jld. II hal. 223-224).
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyuun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al imamul a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslimin” (Nailul Authar, Jld. II hal. 218).
Pendapat para imam madzhab tersebut didasarkan pada berbagai hadits Rasululah Saw.. Diantaranya sabda Rasul yang diriwayatkan Imam al Hakim :

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulan sabit sebagai tanda (masuknya) awal bulan. Jika kalian melihatnya (bulan sabit Ramadhan), maka berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (bulan sabit Syawal), maka berbukalah. Apabila penglihatanmu terhalang (karena faktor cuaca dsb), maka genapkanlah hitungannya menjadi 30 hari. Ketahuilah, setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari.” (lihat Kita Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, Jilid I. Halaman 423).
Menurut Al Hakim yang dibenarkan oleh Adz Dzahabi, hadits itu shahih dari segi sanad berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkan hadist tersebut. Banyak hadits yang senada maknanya dengan hadits itu. Lafadz hadits di atas bersifat umum, mencakup seluruh kaum Muslimin, dimanapun berada.
Jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yat wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Karena itu, wajib kaum Muslimin melakukan puasa pada hari yang sama

Ketiga, riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, hadits tersebut tidak absah dijadikan dalil atau apa pun untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist "shûmû liru’yatihi". Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula. Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul, "al-‘âm yabqa fi ‘umûmihi ma lam yarid dalil at-takhsish" (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).
Seandainya riwayat Kuraib tersebut absah digunakan sebagai dalil (hadits marfu’), maka berpegang kepada hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Saw secara langsung (qâla Rasulullah Saw) lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang dikatakan oleh seorang shahabat (misalnya, qâla Ibnu ‘Abbas). Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati kemarfu’annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan kemarfu’annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”
Keempat, penolakan Ibnu ‘Abbas ra terhadap ru’yatnya Mu’awiyyah bisa dipahami karena arus informasi ru’yat saat itu memang tidak cepat tersiar ke negeri-negeri kaum Muslim yang lain. Pasalnya, alat-alat transportasi dan telekomunikasi pada saat itu sangat terbatas dan lambat. Akibatnya, informasi ru’yat di satu daerah kadang-kadang baru sampai sehari atau lebih. Melihat kondisi ini, Rasulullah Saw dan para shahabat membiarkan daerah-daerah yang jauh untuk tidak terikat dengan hasil ru’yat penduduk Madinah maupun Mekah, dikarenakan halangan-halangan jarak. Imam asy-Sya’rani menuturkan, “Para shahabat ra tidak memerintahkan suatu negeri untuk mengikuti hasil ru’yat penduduk Madinah, Syam, Mesir, Maghrib, dan sebagainya.” Barangkali pendapat mereka disandarkan pada sebuah riwayat yang menuturkan bahwasanya penduduk Nejed telah memberitahu kepada Rasulullah Saw, bahwa ru’yat mereka lebih awal satu hari dibandingkan dengan ru’yat penduduk Madinah. Lalu, Nabi Saw bersabda, “Setiap penduduk negeri terikat dengan ru’yat mereka sendiri-sendiri.” [Musnad Imam Ahmad, 6/18917].
Hanya saja, hadits ini sama sekali tidak menunjukkan, bolehnya kaum Muslim bersikukuh dengan ru’yat masing-masing, atau untuk membenarkan mathla’. Hadits ini hanya merupakan solusi (pemecahan) yang diberikan oleh Rasulullah Saw tatkala kaum Muslim menghadapi kendali waktu dan jarak saat itu. Sebab, hadits-hadits yang lain justru menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw membatalkan puasanya karena mendengar informasi ru’yat dari negeri lain; misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Lima.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabbiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yat bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan, "…Saya —demi Allah— tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam al-Fatawa jilid 25, asy-Syaukani dalam Nailul Authar, Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudhah an-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yat negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu ‘Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yat hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa 75/104…”
Kelima, selain itu; ijtihad Abdullah Ibnu ‘Abbas ra di atas bertentangan dengan makna sharih (eksplisit) yang terkandungh di dalam hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
“Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi Saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah Saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yatul hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Kebolehan mathla’ juga akan bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas sendiri;
“Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad Saw kemudian berkata, ‘Sungguh saya telah melihat hilal.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Wahai Bilal umumkan kepada manusia (masyarakat) agar mereka berpuasa besok.” [HR. Imam yang lima, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hiban].
Keenam, secara astronomis perbedaan mathla’ akan terasa aneh dan janggal. Daerah yang terletak dalam satu bujur harusnya bisa memulai puasa Ramadlan pada waktu yang bersamaan. Sebab, daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu. Namun, faktanya dengan adanya negara-negara bangsa, daerah-daerah yang terletak satu bujur memulai puasa tidaklah serentak, padahal secara astronomi harusnya bisa memulai puasa secara bersamaan. Selain itu, daerah yang terletak beda bujur, selisih waktu terjauh tidak sampai sehari. Jika demikian, tidak mungkin ada selisih waktu lebih dari sehari. Adanya mathla’ memungkinkan suatu daerah berbeda dengan daerah lain, meskipun secara astronomi harusnya tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat dalam memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan. Kenyataan seperti ini mengharuskan kita meninggalkan mathla’.
Ketujuh, dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruh dunia, kaum Muslim akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan puasa Ramadhan di seluruh dunia. Harapannya, langkah semacam ini merupakan titik awal menuju persatuan ummat Islam seluruh dunia.
Dalam sejarah pernah dituturkan, bahwa para khalifah dari Dinasti ‘Utsmaniyyah telah mengadopsi pendapat madzhab Hanafi yang menyatakan, “Perbedaan mathla’ tidak diakui. Penduduk timur wajib terikat dengan hasil ru’yat penduduk barat, jika ru’yat berhasil mereka tetapkan berdasarkan cara-cara yang telah ditentukan.”

By : M. Labib

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

Silakan Tinggalkan Pesan di Blog Rian

 
rianprestasi.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com