“Ukir Prestasi, Raih Jati Diri Dengan Usaha, Rasa Cinta, dan Penuh Keikhlasan Kepada-Nya [U Can, If U Think U Can]"

Thursday, September 25, 2008

Terlintas di depan kita persoalan yang sudah menjadi polemik berkepanjangan dalam masyarakat yang semula hanya sebagai asumsi, hipotesis atau pun prediksi, namun tampaknya sekarang sudah menjadi langkah konkret yang tidak perlu dibantah. Persoalan tersebut adalah tentang pernikahan dini. Pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal baik dari segi persiapan fisik, persiapan mental juga persiapan materi.

Walau pun demikian, hal itu tetap saja dilakukan walaupun berbagai fakor yang melatar belakanginya. Pernikahan dini kini sangat marak dilakukan, dan tentunya ini akan menjadi permasalahan yang besar ketika tidak ada pencarian analisa masalah yang tepat yang didasari oleh data yang akurat dan terpercaya serta solusi yang alternatif untuk memecahkan masalah ini. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara mendetil tentang dampak buruk pernikahan dini, pendewasaan usia kawin, keluarga sejahtera dan pemerintah peduli remaja berupa solusi baru yang lebih objektif yang dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mengatasi maraknya pernikahan dini.

Remaja Masa Kini Tidak Menikah Dini
Remaja merupakan masa transisi dari masa kekanak-kanakan menjadi seorang yang dewasa. Remaja merupakan bibit awal suatu bangsa untuk menjadi bangsa yang lebih baik, bermartabat dan kuat. Oleh karena itulah, masa depan suatu bangsa terletak di tangan para remaja. Saat ini problematika yang terjadi pada para remaja adalah banyaknya remaja yang ingin membina rumah tangga dengan melakukan pernikahan dini. Bila ditelusuri, banyak faktor yang menyebabkan remaja melakukan pernikahan dini; bisa karena pergaulan bebas akibatnya terjadi perkawinan di luar pernikahan. Faktanya, di magelang tercatat ada sekitar 1456 kasus kehamilan diluar nikah dalam setahun . Hal lain ialah informasi yang menyimpang yang mengubah gaya pandang remaja atau bisa juga disebabkan oleh faktor ekonomi.

Walaupun banyaknya faktor yang melatar belakangi pernikahan dini, akan tetapi dampak buruk yang terjadi ketika melakukan pernikahan dini lebih banyak pula. Dampak tersebut terdiri dari dampak fisik dan mental. Secara fisik, dampak yang terjadi berupa :

1) remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan . Untuk Nanggroe Aceh Darussalam, pada periode Januari sampai September 2006, dari 112.667 ibu hamil ditemukan 84 orang meninggal .

2) Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim, pada usia remaja sel-sel leher rahim belum tumbuh dengan matang. Kalau terpapar oleh Human Papiloma Virus (HPV) maka pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. dr Nugroho Kampono,Sp.OG menyebutkan kanker leher rahim menduduki peringkat pertama kanker yang menyerang perempuan Indonesia, angka kejadiannya saat ini 23 persen di antara kanker lainnya.

3) Remaja akan mengalami masa reproduksi lebih panjang, sehingga memungkinkan banyak peluang besar untuk melahirkan dan mempunyai anak. Secara Nasional, tingkat laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,6 persen pertahun atau sekitar 3-4 juta bayi lahir setahunnya. Ini menjadi angka yang sangat fantastis dan membahayakan.Bila tingkat kelahiran di Aceh juga meningkat maka kemungkinan besar akan menyebabkan polemik baru di Aceh. Aceh dengan provinsi yang masih berbenah baik dari segi kesehatan, lapangan kerja, pemerintahan juga ekonomi pasca konflik dan Tsunami maka akan terciptanya permasalahan yang krusial yang harus di hadapi oleh pemerintah Aceh.

4) Akibat pernikahan dini, para remaja saat hamil dan melahirkan akan sangat mudah menderita anemia.

5) Menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi, pada periode Januari sampai September 2006, dari kelahiran bayi 102.905 orang tercatat 222 orang meninggal dunia . Kemudian, ketidaksiapan fisik juga tidak terjadi pada remaja yang melakukan pernikahan dini akan tetapi juga terjadi pada anak yang dilahirkan. Dampak buruk tersebut berupa bayi lahir dengan berat rendah, hal ini akan menjadikan bayi tersebut tumbuh menjadi remaja yang tidak sehat, tentunya ini juga akan berpengaruh pada intellegenci si anak.

Dari segi mental, 1) secara medis usia bagus untuk hamil 25-35 tahun, maka bila usia kurang meski secara fisik dia telah menstruasi dan bisa dibuahi, namun bukan berarti siap untuk hamil dan melahirkan serta mempunyai kematangan mental untuk melakukan reproduksi yakni berpikir dan dapat menanggulangi resiko-resiko yang akan terjadi pada masa reproduksinya, seperti misalnya terlambat memutuskan mencari pertolongan karena minimnya informasi sehingga terlambat mendapat perawatan yang semestinya.

2) Pernikahan dini juga menghentikan kesempatan seorang remaja meraih pendidikan yang lebih tinggi, berinteraksi dengan lingkungan teman sebaya, sehingga dia tidak memperoleh kesempatan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas, hal ini juga berimplikasi terhadap kurangnya informasi dan sempitnya dia mendapatkan kesempatan kerja, otomatis lebih mengekalkan kemiskinan. 3) Dari sisi sosial, pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap istri, ini timbul karena tingkat berpikir yang belum matang bagi pasangan muda tersebut. Data statistik lengkap mengenai Kasus Dalam Rumah Tangga (KDRT atau domestic violence) Mitra Perempuan Women’s Crisis Center di Yogyakarta menyebutkan selama periode 1994 samapai 2004, menerima pengaduan 994 kasus kekerasan yang terdata, selanjutnya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menyebutkan 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia atau setara dengan 24 juta perempuan mengaku perngah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Kemudian, 4) depresi berat (neoritis depresi) akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi tertutup (introvert) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang gila (schizoprenia). Sedang depresi berat pada pribadi terbuka (ekstrovert) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti; pertikaian rumah tangga yang tak kunjung usai dan tak jelas masalahnya, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.

Melalui Pendewasaan Usia Kawin, Kita Bangun Keluarga Sejahtera
Secara etimologi, perkawinan mempunyai dua makna. Dari sisi substansi syari’ah dalam pandangan Islam, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang suami isteri dengan tujuan menciptakan keluarga yang bahagia, sejahtera, damai, tenteram dan kekal sebagaimana yang tersurat dalam QS. Ar-Rum : 212. Dari sisi Sosiologi, perkawinan adalah penyatuan dua keluarga besar, terbentuknya pranata sosial yang mempertemukan beberapa individu dari dua keluarga yang berbeda dalam satu jalinan hubungan.

Secara undang-undang, perkawinan dini selalu dikaitkan dengan usia pernikahan yang dilaksanakan pada ambang batas atau di bawah usia dengan ketentuan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Ambang batas tersebut sebenarnya baru “awal kebolehan” yang ditolerir oleh hukum di negara kita. Tapi bagaimana dengan kesiapan yang lainnya, kesiapan sosial, kesiapan mental dan fisik, di sinilah perlu kiranya kita mempertimbangkan kondisi perkawinan yang mencukupi untuk dapat dikatakan cukup matang dalam persiapan.

Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Kalau keduanya bisa saling merubah, itu hanya akan terjadi kalau dua-duanya sama-sama dewasa. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia remaja.

Tentunya dengan kematangan faktor kedewasaan baik dari segi pola pikir dan umur, tentunya ini akan menjadi fakor pendukung terciptanya sebuah keluarga sejahtera.

Keluarga Sejahtera dan Pemerintah Peduli Remaja
Makin maraknya pernikahan dini yang dilakukan oleh remaja saat ini dan bahkan menjadi trend yang berujung pada sebuah keharusan, tentunya perlu ada upaya penyelesaian yang kontruktif untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Upaya tersebut merupakan bentuk perlindungan remaja sejak dini selaku warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan yang berujung pada kesejahteraan. Upaya penyelesaian berupa solusi tersebut tentunya harus ada singkronisasi antara pemerintah dan keluarga agar didapatinya hasil yang semaksimal mungkin.

Keluarga sebagai komunitas terkecil yang sangat banyak berinteraksi dengan remaja (anak mereka, red), tentunya yang menjadi tanggung jawab mereka selaku orang tua dengan memberikan pendidikan dini tentang pergaulan dan pernikahan dini. Hal ini pun, hanya bisa terjadi bila keluarga dalam hal ini orang tua bisa menjadi orang yang mereka teladani dan dihormati dalam segala aktivitas sebagai contoh terdekat dari mereka.

Keluarga pun harus menjadi pengontrol (fungtion control) terhadap segala aktivitas yang mereka lakukan, agar anak-anak mereka yang tumbuh menjadi dewasa tidak terjebak dalam keadaan yang salah, bisa dari segi pergaulan atau sebagainya.

Walaupun demikian, perlidungan remaja kiranya turut dilaksanakan oleh sebuah konstitusi yaitu pemerintah sendiri, dalam konteks Aceh ialah Pemerintah Aceh. Langkah awal yang perlu kiranya dipersiapkan oleh pemerintah Aceh sendiri dengan adanya sebuah agenda umum (common agenda) yang kiranya menjadi acuan tentang perlindungan remaja dan permasalahan pernikahan dini. Hal ini tentunya terjalin atas kesepakatan semua pihak.

Pemerintah Aceh melalui BKKBN Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus mensosialisasikan tentang efek buruk pernikahan dini ke seluruh lapisan masyarakat, kota maupun desa. Tentunya dengan target yang telah direncanakan, serta Pemerintah Aceh mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 25–35 tahun . Pada tataran aplikasi, bila perlu pemerintah Aceh menetapkan sebuah aturan kepada remaja Aceh, sebagai salah satu contoh SMU Negeri I Denpasar melarang pernikahan dini bagi para pelajar SMU.

Dari paparan di atas, perlindungan remaja sangatlah penting dilakukan, hal ini difaktori karena remaja hari ini adalah pemimpin hari esok, keadaan remaja hari ini merupakan gambaran keadaan bangsa dan negara di hari esok. Kiranya ini menjadi sebuah cacatan penting bagi Indonesia dan Acseh untuk menjadi yang lebih baik.

note : Hanya dari segi Kesehatan bukan Agama

Dealine: 31 Oktober 2008, pukul 23.59 WIB
YAYASAN PEDULI HUTAN LESTARI (YPHL)
Menyelenggarakan Lomba Karya Tulis Berthema "MEMBANGUN KEPEDULIAN TERHADAP KELESTARIAN HUTAN" – Term of Reference YPHL, Writing Competition 2008 (YPHL 02-08)
Ketentuan dan Hadiah Lomba
Hadiah

Trophy: Achmad Kalla Excellence Awards

  1. Juara 1 : Uang tunai Rp 20.000.000,- + Trophy + Notebook
  2. Juara 2 : Uang tunai Rp 15.000.000,- + Trophy + Notebook
  3. Juara 3 : Uang tunai Rp 10.000.000,- + Trophy + Kamera
  4. Juara Harapan 1, 2 dan 3 masing-masing Rp. 1.000.000,- + Sertifikat
Penyerahan Hadiah

  1. Dilaksanakan di Jakarta. Waktu akan diberitahukan kemudian.
  2. Apabila pemenang tidak hadir pada saat penyerahan hadiah, maka hadiah dikirimkan kepada alamat Pemenang di Indonesia.
Ketentuan Umum:
  1. Peserta adalah warga negara Indonesia, yang berdomisili di dalam maupun di luar negeri;
  2. Lomba dibuka untuk semua warga negara Indonesia tanpa pengecualian agama, usia, jenis kelamin, status sosial, latar belakang pendidikan, tempat domisili, profesi/keahlian, dan lain-lain;
  3. Lomba dimulai dari tanggal pengumuman iklan yang ditayangkan di Kompas oleh Yayasan Peduli Hutan Lestari (YPHL) dan Harian Online KabarIndonesia (HOKI). Ditutup pada tanggal 31 Oktober 2008, pukul 23.59 WIB;
  4. Hasil lomba menulis ini akan dinilai oleh Dewan Juri untuk dipilih 6 orang pemenang;
  5. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat, serta tidak melayani tanya jawab;
  6. Pengakuan Ketentuan Lomba: Dengan mengirimkan naskah tulisan untuk diikutsertakan pada lomba ini, maka peserta menyatakan diri tunduk kepada semua ketentuan tersebut di atas berikut sanksi-sanksinya;
  7. Peserta yang mengirimkan naskah tulisan dengan nama orang lain akan dikenai sanksi diskualifikasi dan tidak bisa menjadi juara. Sanksi terhadap penyalahgunaan identitas, pemakaian identitas orang lain dan/atau pemalsuan identitas akan dijatuhkan ke peserta lomba menulis ini tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Ketentuan Khusus (Tulisan):
  1. Tulisan asli perorangan bukan jiplakan, saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan di media lain baik Offline maupun Online;
  2. Tulisan berisi ulasan, opini, analisa kasus, dan/atau hasil penelitian, dan bersifat ilmiah dengan didukung oleh data-data dan referensi yang relevan;
  3. Judul dan isi tulisan harus berkaitan dengan thema utama, yakni “Membangun Kepedulian terhadap Kelestarian Hutan”;
  4. Panjang tulisan antara 1.500 hingga 2.500 kata (3-5 halaman A4);
  5. Setiap peserta boleh mengirimkan tulisan sebanyak-banyaknya;
  6. Tulisan harus mengikuti kaidah penulisan menggunakan ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar (Ejaan yang Disempurnakan);
  7. Para Peserta wajib terdaftar sebagai Penulis di Harian Online KabarIndonesia. Bagi yang belum terdaftar silahkan klik “Daftar Jadi Penulis”;
  8. Tulisan dikirimkan melalui Harian Online KabarIndonensia pada Rubrik “Lingkungan Hidup”
  9. Tiap tulisan yang dikirim dengan maksud mengikuti lomba menulis ini, agar dicantumkan tulisan: Lomba Tulis YPHL di awal artikel;
  10. Hak cipta tulisan tetap pada penulis, tetapi hak publikasi/hak pakai ada pada Yayasan Peduli Hutan Lestari (YPHL) dan Harian Online KabarIndonesia, terhitung sejak tanggal 16 September 2008;
  11. Kami juga memberikan kesempatan untuk mengirimkan hasil karya anda melalui Pos (Hardcopy) dengan menyertakan Softcopy dalam bentuk CD ke: PO BOX 8229/jkssb atau ke alamat yang tercantum dibawah ini:
Penyelenggara:
Yayasan Peduli Hutan Lestari (YPHL)
Graha MIK Taman Perkantoran Kuningan
Jl. Setia Budi Selatan Kav. 16-17
Jakarta 12920 Indonesia
Tel. 021-5794 1780,
Fax 021-5794 1413,
Email: info@kabarindonesia.com

Wednesday, September 17, 2008

Tema : "Langkah Free Biaya Seminar & Mendapatkan Sertifikat"
Syarat dan Ketentuan :

  1. Peserta perseorangan
  2. Artikel di tulis dalam font Times New Roman 12, spasi 1,5
  3. Artikel terdiri dari 6-8 halaman
  4. Artikel dikumpul paling lambat 30 September 2008


Biaya pendaftaran Rp. 10.000, ke
No. rek Atas nama : Joko Suliyono 01022528344
Bank BNI Cabang Sebelas Maret Surakarta

Bukti pembayaran dan Soft Copy dikirim Via e-mail ke :
panitiaartikel.uns@gmail.com
panitiaartikel_uns@yahoo.co.id
atau Hard Copy rangkap tiga ke sekretaris panitia BEM UNS
d.a : Gd. Porsima Lt 2
Jl. Ir sutami 36 A Surakarta.

Cp : primanda (0856 250 6488)
Ning (0856 473 48684)

Hadiah
Juara I : Uang Pembinaan Rp. 500.000,00-
Juara II : Uang Pembinaan Rp. 300.000,00-
Juara III : Uang Pembinaan Rp. 200.000,00-


Tuesday, September 9, 2008

Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Di bulan itu, masjid-masjid semarak dikunjungi jamaah. Demikian pula hari Iedul Fitri. Kedatangan hari raya itu disambut dengan penuh kebahagiaan. Namun di tengah kebahagiaan itu, masih terselip persoalan yang cukup mengganjal. Hampir setiap tahun, momentum penting itu diwarnai perbedaan di antara umat Islam. Kendati umat Islam mulai terbiasa dengan perbedaan awal puasa dan Idul Fitri, namun sesungguhnya kebersamaan tentu lebih didambakan.
Umat Islam tentu lebih senang jika mereka bisa serentak mengawali dan mengakhiri puasa, mengumandangkan takbir, melaksanakan shalat Iedul Fithri, dan merayakannya secara bersama-sama. Suasana itu tentu amat berbeda jika dalam satu kampung atau kota ada masjid yang masih menyelenggarakan shalat tarawih, sementara masjid di sampingnya sudah mengumandangkan takbir untuk menyambut sholat ied. Keesokan harinya ada yang sudah menunaikan sholat dan mengeluarkan jamuan makan, sementara lainnya masih berpuasa.
Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru'yah al-hilâl orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru'yah al-hilâl, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya --bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun-- terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Kebanyakan rakyat di negeri itu pun tunduk pada pengumuman pemerintah tersebut. Walhasil, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadlan antara negeri-negeri muslim.

Kewajiban Puasa dan Sabab-nya
Telah maklum bahwa puasa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ *شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).
Rasulullah saw bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).
Berdasarkan ayat dan Hadits tersebut, puasa di bulan Ramadhan merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara' tidak hanya menjelaskan status hukumnya puasa Ramadhan bahwa ibadah tersebut adalah fardhu ‘ain, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.
Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara' menjelaskan bahwa ru'yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad 4258, al-Darimi 1743, al-Daruquthni 2192, dari Ibnu Umar ra).
Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru'yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.
Sayyid Sabiq menyatakan, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yatul hilal kendati berasal dari (kesaksian) seseorang yang adil atau menyempurnakan Syaban menjadi tiga puluh hari.”
Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi yang adil. Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw, yakni diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, ôSungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hibban).
Dalam Hadits tersebut kesaksian seorang yang melihat bulan baru diterima setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Dari Ibnu Umar ra:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).
Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra.

Bagaimana dengan Hisab?
Di samping ru’yat hilal, ada sebagian kaum Muslim yang berpendapat bahwa awal dan akhir puasa dapat ditetapkan berdasarkan hisab (perhitungan astronomis). Di antara beberapa argumentasi yang digunakan untuk melandasi pendapat tersebut adalah Pertama, beberapa ayat al-Quran yang menyebutkan penggunaan hisab dalam penetapan waktu. Seperti firman Allah Swt:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. (Qs. Yunus [10]: 5).
Ayat ini menujukkan bahwa Allah Swt. membolehkan kaum Muslimin menghitung tempat-tempat dan garis-garis edar matahari dan bulan, termasuk juga perhitungan waktu dalam hari, bulan dan tahun, pergantian musim dan lain-lain sebagainya. Sebagai salah satu bulan, Ramadhan bisa juga ditetapkan dengan memperhatikan perjalanan bulan. Atas dasar itu, maka penentuan awal dan akhir Ramadhan bisa dilakukan dengan cara perhitungan (hisab).
Kedua, perintah melakukan ru’yatul hilal pada zaman Rasulullah saw disebabkan karena adanya sebuah ‘illah (sebab disyariahkan suatu hukum), yakni masih belum mengenal ilmu hisab. Dari Ibnu Umar Rasulullah saw bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Sesungguhnya kami ini adalah ummat ummi dan tidak menulis dan menghisab. Bulan itu adalah begini dan begini, yakni, kadang-kadang 29 hari kadang-kadang 30 hari (HR. Imam Bukhari no. 1780; dan Muslim no. 1806, Abu Dawud no. 1975; al-Nasai no.2112; dari Ibnu Umar ra dengan Lafadz Bukhari)
Menurut Hadits ini, umat Islam saat itu dalam keadaan ummi. Mereka tidak bisa menulis dan tidak mengetahui ilmu hisab. Keadaan mereka yang ummi itulah yang diduga sebagai ‘illah diperintahkannya ru’yatul hilal dalam menetapkan awal dan akhir puasa. Karena keadaan itu yang menjadi ‘illah-nya, maka tatkala ‘illah itu sudah tidak ada, maka ru’yat hilal tidak lagi diperintahkan. Untuk mengetahui awal dan akhir puasa cukup dengan menggunakan hisab.
Ketiga, perintah menggunakan hisab juga bisa dipahami dari beberapa Hadits Nabi saw. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw:
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah. (HR. Muslim no. 1797; Ahmad no. 4258; al-Darimi, no. 1743; al-Daruquthni no. 2192).
Frase "faqduruulahu" dalam Hadits ini bermakna hitunglah. Itu berarti hadits ini menunjukkan kebolehan menetapkan awal Ramadhan dengan hisab.
Keempat, kata liru’yatihi (melihatnya), sebagaimana disebutkan dalam banyak Hadits tidak selalu bermakna melihat dengan mata. Di samping berarti melihat dengan mata, kata ra’â berarti juga berpikir atau berpendapat. Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra’â, bisa diartikan dengan memikirkan. Bisa diartikan bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan hisab.
Kelima, penggunaan hisab sesungguhnya sudah banyak dipraktikkan kaum Muslim dalam perkara ibadah. Dalam penentuan waktu shalat, misalnya, kaum Muslim tidak perlu harus matahari, namun cukup dengan melihat jam yang dihasilkan dari perhitungan hisab. Pula, dalam praktek puasa sehari-hari. Dalam berimsak di pagi hari atau berbuka di sore hari, umat Islam tidak harus melihat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari di petang hari, namun cukup dengan mempercayakan hasil perhitungan hisab. Jika demikian, mengapa dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan tidak diperbolehkan didasarkan hisab?
Apabila ditelisik, pendapat tersebut termasuk lemah. Kelemahan itu bisa diteliti dari dalil dan argumentasi yang digunakan untuk menyimpulkan pendapat tersebut. Pertama, beberapa ayat yang digunakan sebagai dalil atas absahnya hisab sebagai penentu Ramadhan. Penggunaan ayat-ayat tersebut itu tidak tepat. Alasannya, ayat tersebut bersifat umum. Dalam nash yang bersifat umum, berlaku kaidah al-‘âm yabqâ ‘alâ‘umûmihi mâ lam yarid dalîl at-takhsîsh (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).
Berkenaan dengan penentuan awal Ramadhan, sebagaimana telah diungkap terdapat banyak nash sharih yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan harus berdasarkan ru’yat. Atas dasar itu, keumuman surat Yunus [10]: 5 telah dikhususkan oleh hadits-hadits di atas. Dalam kondisi semacam ini, kita harus berpegang pada kaidah ushul fiqh, “Dalil-dalil umum harus dibawa menuju dalil-dalil khusus bila ditemukan dalil yang lebih khusus”. Dengan demikian, mengamalkan dalil yang lebih khusus adalah kewajiban dan lebih utama.
Kedua, ‘illah diperintahkannya ru’yatul hilal yang didasarkan Hadits tentang ummi-nya kaum Muslim saat itu. Kesimpulan itu juga tidak tepat. Jika dicermati redaksional Hadits tersebut, sama sekali tidak menunjukkan adanya ‘illah ru’yat al-hilal. Hadits itu hanya memberitakan bahwa kondisi kaum Muslim pada saat itu; bahwa mereka adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung (hisab astronomis). Setelah itu kemudian beliau memberitakan jumlah hari dalam satu bulan. Adakalanya 29 hari, adakalanya 30 hari. Tidak ada satu pun lafadz yang menghubungkan antara kondisi yang ummi itu dengan perintah melakukan ru’yat. Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan bahwa kondisi mereka yang ummi menjadi ‘illah bagi perintah melakukan ru’yat.
Ketiga, kata “faqdurû lahu" yang ditafsirkan hitunglah. Apabila dibandingkan dengan dengan nash-nash Hadits lainnya, maka penafsiran itu tidak tepat. Selain menggunakan kata faqdurû lahu, dalam riwayat-riwayat lainnya digunakan lafadz faakmilû ‘iddah Sya’bân atau faakmilû al-‘iddah tsalâtsîna yang berarti genapkanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari.. Sebagaimana riwayat menyebutkan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776).
لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.”
صُومُوا لِلرُّؤْيَةِ وَأَفْطِرُوا لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلاَثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari. [HR. al-Nasa’i].
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
Bilangan bulan itu 29 hari. Janganlah kalian berpuasalah hingga melihat bulan, dan janganlah kalian berbuka puasa hingga melihatnya, jika mendung, maka perkirakanlah (faqdurulah) (bulan Sya’ban) 30 hari. [HR. Imam Abu Dawud]
Bertolak dari Hadits-hadits di atas, penafsiran yang tepat terhadap kata faqdurû lahu adalah sempurnakanlah bilangan (faakmilû ‘iddah) bulan menjadi 30 hari, dan bukan menunjukkan perintah mengunakan hisab. Dengan kata lain, jika ru’yat telah dilakukan, namun terhalang mendung, maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Al-Syarakhsani menyatakan, “Makna kata taqdîr adalah ikmâl al-‘ddah sebagaimana Hadits yang telah dijelaskan.”
Di samping alasan tersebut, seandainya makna faqdurû lahu adalah hisablah, tentunya Rasulullah Saw tidak akan menyatakan kalimat, “Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi ada atau tidaknya mendung.
Keempat, kata liru’yatihi yang diartikan sebagai pendapat atau pemikiran. Pemaknaan itu jelas tidak tepat. Bila diperhatikan keseluruhan nash Hadits itu sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. Rasul bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776).
صُومُوا لِلرُّؤْيَةِ وَأَفْطِرُوا لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلاَثِينَ
Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.” (HR. an-Nasa’i).
Pada Hadits itu juga ada kata, “Jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”. Lafadz ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru’yat dalam nash tersebut berarti melihat dengan mata, bukan hisab. Sebab bila lafadz "ra’â" berarti hisab, maka keberadaan mendung (awan) sama sekali tidak menghalangi dilakukan hisab. Penafsiran itu juga akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya kami ini adalah ummat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” [HR. Bukhari]. Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah saw tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir "liru’yatihi" adalah menghitung, sementara Rasulullah Saw memnyatakan bahwa umatnya saat itu adalah umat yang ummi?
Kelima, kebolehan menggunakan hisab dalam perhitungan waktu shalat tidak bisa diqiyaskan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Dalam waktu shalat, al-Quran dan Hadits hanya menjelaskan waktu-waktu yang menjadi sabab dikerjakannya shalat. Seperti firman Allah Swt:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat) (QS al-Isra’ [17]: 78).
Ayat tersebut langsung menunjuk pada fakta tergelincirnya matahari, gelap malam, atau terbitnya fajar. Semua fakta itu ditetapkan sebagai sabab bagi pelaksanaan shalat. Sehingga, kendati faktanya tidak dilihat secara langsung, namun dapat diketahui melalui perhitungan hisab, maka itu bisa diamalkan. Berbeda dengan puasa. Syara tidak menetapkan awal dan akhir puasa dengan wujûd al-hilâl atau imkân al-ru’yah, namun dengan ru’yah al-hilâl sebagaimana telah dipaparkan.
Dengan demikian, argumentasi pendapat yang menyatakan absahnya penggunaan hisab untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan terbukti lemah. Di samping itu, terdapat nash yang menolak penggunaan selain ru’yah hilal sebagai sebagai penetapan awal dan akhir puasa.
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari 1773, Muslim 1795, al-Nasai 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).
Hadits ini melarang kaum Muslim berpuasa dan berbuka hingga mereka ru’yatul hilal. Berpuasa yang hanya didasarkan pada perhitungan hisab, jelas termasuk dalam puasa atau berbuka yang tidak disebabkan karena ru’yah.
Terbukti pula bahwa rukyat adalah pendapat yang lebih kuat (rajih). Dari sini dapat disimpulkan, bahwa rukyat adalah metode yang ditetapkan syariat untuk penetapan awal dan akhir Ramadlan; bukan hisab. Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliah berpendapat ketidak bolehan bersandar kepada hisab astronomis dalam penentuan awal bulan qamariyah, dan bahwasannya dalam perkara ini wajib bersandar kepada ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) dengan penglihatan yang dilakukan di tempat pengamatan terbuka atau tinggi (Rinciannya lihat di dalam tafsir Al Qurtubiy 2/293 dan Al Muhadzab, Ibnu Yusuf As Siraziy jil I hal 179, Kasyful Qina’ oleh mansur bin Idris jil II hal 253, dan Al Lubab, Syarhu Al kitaab oleh ‘Abdul Ghaniy al Maidaniy jil I hal 163).
Kendati demikian, ilmu hisab bukan berarti tidak berguna . Ilmu tersebut bisa digunakan untuk membantu pelaksanaan ru’yah. Mulai dari posisi hilal yang hendak diru’yah, kapan kira-kira terbitnya, dan sebagainya.

Persoalan Mathla’
Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 4 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.
Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib. Diriwayatkan dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata:
فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilan-gan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.”
Inilah hadits yang dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat mereka adalah pendapat yang lemah. Kelemahan pendapat mereka didasarkan pada alasan-alasan berikut ini.
Pertama, dalam Hadits ini mengandung syubhat, apakah Hadits ini tergolong sebagai Hadits marfu’ atau Hadits mauquf. Ditilik dari segi lafadznya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw" (demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami”), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfu’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits yang marfu’ perlu dipertanyakan.
Jika dicermati, perkataan Ibnu Abbas “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban atas pertanyaan Kuraib tentang perbedaan antara penduduk Madinah dan Syam dalam mengawali puasa. Perbedaan itu disebabkan karena perbedaan hari dalam meru’yat hilal. Ketika ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti saja rukyat penduduk Syam, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Menilik kisah tersebut, maka pertanyaan penting yang patut diajukan adalah, apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu? Atau itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan? Sampai di titik ini, terdapat syubhat mengenai marfu’ atau mauquf-nya Hadits ini. Hal ini berbeda dengan Hadits-hadits lain yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw” dan tidak mengandung syubhat ke-marfu’-annya, seperti Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfu’. Sebab, Hadits berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau atas suatu kasus yang terjadi masa beliau. Oleh karena itu, tidak aneh jika sebagian ulama menggolongkan Hadist ini sebagai Hadits Mauquf. Al-Syaukani misalnya, menyatakan, “Ketahuilah yang layak dijadikan hujjah adalah yang marfu’ dari Ibnu Abbas, bukan ijtihadnya yang dipahami orang-orang. Hal itu ditunjukkkan perkataannya, ““Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw”

Dengan menilik riwayat tersebut, tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu.
Adanya ungkapan yang disandarkan kepada Rasulullah saw, seperti ungkapan amaranâ Rasûlullâh saw tergolong sebagai Hadits marfu’, seperti Hadits Rasulullah saw:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami berkait dengan zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).
namun bila kita bandingkan riwayat-riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas sendiri, maka terlihatlah bahwa perkataan Ibnu ‘Abbas itu adalah hasil ijtihad beliau sendiri, bukan riwayat marfu' dari Nabi saw. Ibnu ‘Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi Saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي بَكْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ
“Dari Ibnu 'Abbas ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.”
Atas dasar itu, hadits dari Kuraib adalah ijtihad pribadi Ibnu ‘Abbas; sedangkan ijtihad shahabat tidak sah dijadilan sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
Kedua, Hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithabnya (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum Muslim. Kata "shûmû liru’yatihi" adalah lafadz umum. Artinya, bila satu daerah telah melihat bulan, maka wilayah yang lain harus berpuasa atau berbuka karena hasil ru’yat daerah tersebut.
Seruan as-syari' (pembuat syari'at) pada hadits-hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Iraq. Lafadz-lafadz hadits tersebut datang dalam bentuk umum karena menggunakan dhomir jama'ah (kata ganti plural/jamak, berupa wawu jama'ah) pada kata shûmû dan afthirû menunjukkan atas umumnya kaum muslimin atau seluruh kaum muslimin. Disamping itu, lafadz liru’yatihi (karena melihatnya) adalah isim jenis (kata benda jenis) yang di-mudhof-kan (disandarkan) kepada dhomir (kata ganti). Bentuk seperti ini menunjukkan bahwa ru'yatul hilal itu bisa dilakukan oleh siapa pun.
Dengan demikian, hadits-hadits tersebut mengandung pengertian bahwa terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang muslim di mana pun ia berada, mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk berpuasa atau berbuka, tanpa terkecuali. Tidak ada perbedaan antara negeri satu dengan negeri yang lain atau muslim satu dengan muslim yang lain. Hal ini disebabkan, siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru'yatul hilal maka ru'yat tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain. Pembagian dan batas-batas yang dibuat oleh orang-orang kafir di negeri-negeri kaum muslimin tidak bernilai. Garis batas dan sekat-sekat nasionalisme itulah yang membuat kaum muslimin di Surabaya berpuasa, sedangkan pendudukan Kuala Lumpur berbuka. Kaum muslimin di Amman (Yordania) sudah merayakan iedul fitri, sedangkan di Damaskus (Syiria) masih berpuasa. Padahal antara dua kota itu sama sekali tidak ada batas, kecuali batas khayal yang dibuat oleh orang-orang kafir semenjak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah dan adanya upaya keras oleh para penguasa untuk mempertahankan garis batas tersebut. Nasionalisme itulah yang mengoyak-oyak kesatuan muslimin dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.
Imam asy-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitab (pembicaraan) yang tertuju kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yat penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”
Imam asy-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”
Oleh karena itu ketika penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa berdasarkan rukyat negeri tersebut; sebab, Rasulullah Saw bersabda, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yat itu berlaku bagi mereka semuanya.
Imam ash-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah "apabila ru’yat didapati di antara kalian". Hal ini menunjukkan bahwa ru’yat pada suatu negeri adalah ru’yat bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”
Shiddiq Hasan Khan berkata, “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Ini didasarkan pada hadits-hadits sharih yang menyatakan masalah ini, yakni "karena melihat hilal dan berbuka karena hilal’ (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat. Oleh karena itu, barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yat itu untuk semuanya …”
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, dimana beliau berkata:
“Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yat tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan diantara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan", sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”
Secara normatif sekitar tiga belas abad lalu, tiga Imam Madzhab --Maliki, Hanafi dan Hambali-- telah menggariskan wajib atas kaum Muslimin dimanapun berada, memulai puasa Ramadhan pada hari yang sama. Dasar penetapannya, tak lain adalah “ru’yatul hilal” (penyaksian bulan sabit) yang mana hukum ru’yat tersebut menjadi fardhu kifayah atas kaum kuslimin di setiap negeri Islam.
Menurut Imam Malik, apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat bulan sabit Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yat tersebut. Atau melakukan qadla puasa jika berita itu datangnya terlambat (Lihat Tafsir Al Qurthuby, Jld. II hal. 296).
Sementara dalam Kitab Ad Durul Mukhtar wa Raddul Muhtar Jld. II hal. 131-132, dari Imam Hashfaky, tercantum pendapat madzhab Hanafi yang menyatakan: “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.
Sedangkan menurut Imam Ibnu Hanbal (madzhab hanbali), apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan. (Mughnil Muhtaj, Jld. II hal. 223-224).
Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyuun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al imamul a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslimin” (Nailul Authar, Jld. II hal. 218).
Pendapat para imam madzhab tersebut didasarkan pada berbagai hadits Rasululah Saw.. Diantaranya sabda Rasul yang diriwayatkan Imam al Hakim :

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan bulan sabit sebagai tanda (masuknya) awal bulan. Jika kalian melihatnya (bulan sabit Ramadhan), maka berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (bulan sabit Syawal), maka berbukalah. Apabila penglihatanmu terhalang (karena faktor cuaca dsb), maka genapkanlah hitungannya menjadi 30 hari. Ketahuilah, setiap bulan tidak pernah lebih dari 30 hari.” (lihat Kita Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, Jilid I. Halaman 423).
Menurut Al Hakim yang dibenarkan oleh Adz Dzahabi, hadits itu shahih dari segi sanad berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkan hadist tersebut. Banyak hadits yang senada maknanya dengan hadits itu. Lafadz hadits di atas bersifat umum, mencakup seluruh kaum Muslimin, dimanapun berada.
Jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yat wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Karena itu, wajib kaum Muslimin melakukan puasa pada hari yang sama

Ketiga, riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, hadits tersebut tidak absah dijadikan dalil atau apa pun untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist "shûmû liru’yatihi". Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula. Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul, "al-‘âm yabqa fi ‘umûmihi ma lam yarid dalil at-takhsish" (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).
Seandainya riwayat Kuraib tersebut absah digunakan sebagai dalil (hadits marfu’), maka berpegang kepada hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Saw secara langsung (qâla Rasulullah Saw) lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang dikatakan oleh seorang shahabat (misalnya, qâla Ibnu ‘Abbas). Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati kemarfu’annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan kemarfu’annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”
Keempat, penolakan Ibnu ‘Abbas ra terhadap ru’yatnya Mu’awiyyah bisa dipahami karena arus informasi ru’yat saat itu memang tidak cepat tersiar ke negeri-negeri kaum Muslim yang lain. Pasalnya, alat-alat transportasi dan telekomunikasi pada saat itu sangat terbatas dan lambat. Akibatnya, informasi ru’yat di satu daerah kadang-kadang baru sampai sehari atau lebih. Melihat kondisi ini, Rasulullah Saw dan para shahabat membiarkan daerah-daerah yang jauh untuk tidak terikat dengan hasil ru’yat penduduk Madinah maupun Mekah, dikarenakan halangan-halangan jarak. Imam asy-Sya’rani menuturkan, “Para shahabat ra tidak memerintahkan suatu negeri untuk mengikuti hasil ru’yat penduduk Madinah, Syam, Mesir, Maghrib, dan sebagainya.” Barangkali pendapat mereka disandarkan pada sebuah riwayat yang menuturkan bahwasanya penduduk Nejed telah memberitahu kepada Rasulullah Saw, bahwa ru’yat mereka lebih awal satu hari dibandingkan dengan ru’yat penduduk Madinah. Lalu, Nabi Saw bersabda, “Setiap penduduk negeri terikat dengan ru’yat mereka sendiri-sendiri.” [Musnad Imam Ahmad, 6/18917].
Hanya saja, hadits ini sama sekali tidak menunjukkan, bolehnya kaum Muslim bersikukuh dengan ru’yat masing-masing, atau untuk membenarkan mathla’. Hadits ini hanya merupakan solusi (pemecahan) yang diberikan oleh Rasulullah Saw tatkala kaum Muslim menghadapi kendali waktu dan jarak saat itu. Sebab, hadits-hadits yang lain justru menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw membatalkan puasanya karena mendengar informasi ru’yat dari negeri lain; misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Lima.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabbiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yat bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan, "…Saya —demi Allah— tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam al-Fatawa jilid 25, asy-Syaukani dalam Nailul Authar, Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudhah an-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yat negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu ‘Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yat hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa 75/104…”
Kelima, selain itu; ijtihad Abdullah Ibnu ‘Abbas ra di atas bertentangan dengan makna sharih (eksplisit) yang terkandungh di dalam hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:
“Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi Saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah Saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yatul hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Kebolehan mathla’ juga akan bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas sendiri;
“Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad Saw kemudian berkata, ‘Sungguh saya telah melihat hilal.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Wahai Bilal umumkan kepada manusia (masyarakat) agar mereka berpuasa besok.” [HR. Imam yang lima, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hiban].
Keenam, secara astronomis perbedaan mathla’ akan terasa aneh dan janggal. Daerah yang terletak dalam satu bujur harusnya bisa memulai puasa Ramadlan pada waktu yang bersamaan. Sebab, daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu. Namun, faktanya dengan adanya negara-negara bangsa, daerah-daerah yang terletak satu bujur memulai puasa tidaklah serentak, padahal secara astronomi harusnya bisa memulai puasa secara bersamaan. Selain itu, daerah yang terletak beda bujur, selisih waktu terjauh tidak sampai sehari. Jika demikian, tidak mungkin ada selisih waktu lebih dari sehari. Adanya mathla’ memungkinkan suatu daerah berbeda dengan daerah lain, meskipun secara astronomi harusnya tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat dalam memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan. Kenyataan seperti ini mengharuskan kita meninggalkan mathla’.
Ketujuh, dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruh dunia, kaum Muslim akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan puasa Ramadhan di seluruh dunia. Harapannya, langkah semacam ini merupakan titik awal menuju persatuan ummat Islam seluruh dunia.
Dalam sejarah pernah dituturkan, bahwa para khalifah dari Dinasti ‘Utsmaniyyah telah mengadopsi pendapat madzhab Hanafi yang menyatakan, “Perbedaan mathla’ tidak diakui. Penduduk timur wajib terikat dengan hasil ru’yat penduduk barat, jika ru’yat berhasil mereka tetapkan berdasarkan cara-cara yang telah ditentukan.”

By : M. Labib

Sunday, September 7, 2008

LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara agraris yang sudah sejak dahulu menjadikan sektor pertanian sebagai penopang perekonomian negara. Sampai saat ini pun sektor pertanian masih tetap menyumbang devisa yang cukup besar bagi perekonomian negara. Namun, dengan sumber daya yang melimpah, proses perkembangan dan modernisasi sektor pertanian Indonesia berjalan sangat lambat. Salah satu indikatornya yaitu produktivitas pertanian yang cenderung menurun dan petani sebagai ujung tombaknya sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Penyebabnya antara lain penerapan teknologi di sektor pertanian yang masih rendah.

Penerapan teknologi pertanian sangat penting dalam pembangunan pertanian Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan minat generasi muda Indonesia dalam bidang teknologi pertanian sangat diperlukan karena mereka adalah aset bangsa yang akan menentukan kemajuan bidang teknologi pertanian Indonesia di masa depan. Dengan melaksanakan Lomba Esai Nasional 2008 yang bertema ”Agrotechnology for a Better Indonesia” ini, kami berharap dapat menjadi salah satu langkah efektif untuk mencapai tujuan di atas.

TUJUAN KEGIATAN
Tujuan dari kegiatan ini adalah :

  1. Meningkatkan minat siswa SMA akan bidang teknologi pertanian dan pertanian secara umum.
  2. Menggali ide-ide dari siswa SMA bagi perkembangan bidang teknologi pertanian di Indonesia.
  3. Memberi wadah bagi siswa SMA untuk menyalurkan aspirasi dan gagasannya di bidang teknologi pertanian.

TEMA KEGIATAN
”Agrotechnology for a Better Indonesia”

SUB-TEMA
  1. Mekanisasi Pertanian untuk menciptakan iklim pertanian modern.
  2. Transformasi penggunaan pangan untuk kebutuhan energi dan dampaknya terhadap keamanan pangan Indonesia.
  3. Peran penting agroindustri dalam menyokong perekonomian bangsa.

KETENTUAN LOMBA
  1. Esai adalah hasil karya orisinil yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya di media mana pun, belum pernah diikutsertakan dalam perlombaan sejenis, dan tidak pernah digunakan untuk media komunikasi apapun.

  2. Esai terdiri dari 900 kata dan maksimal 1500 kata.

  3. Esai dikirim dalam bentuk hard copy dengan 1 berkas esai asli dan 3 berkas yang difotokopi, dengan format :


    • Kertas A4

    • Batas atas,bawah,kiri,dan kanan : (3, 3, 4, dan 3)cm

    • Times new Roman (12 pt)

    • Spasi (1,5)


  4. Esai langsung dikirim di alamat :
    Badan Eksekutif Mahasiswa
    Fakultas Teknologi Pertanian
    Lt. Dasar Kampus IPB Darmaga
    PO BOX 220 Bogor 16001
    paling lambat 25 Oktober 2008 (cap pos).

  5. Karya yang dikirimkan akan menjadi hak milik panitia dan panitia berhak memanfaatkannya.

  6. Konfirmasi pengiriman essay (nama, asal SMA, judul esai, dan tanggal pengiriman lewat pos) melalui email : len_08@ymail.com.

  7. Panitia akan menghubungi 20 finalis untuk mengikuti seleksi akhir di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

  8. Perubahan ketentuan menjadi hak panitia dan akan diinformasikan pada website ini.


SYARAT-SYARAT PESERTA LOMBA
1. Peserta adalah pelajar SMA atau yang sederajat.
2. Peserta melampirkan nomor telepon/ handphone yang bisa dihubungi, email, fotokopi kartu pelajar, keterangan riwayat kesehatan, dan foto berwarna 3×4 sebanyak 4 lembar.

HADIAH
  1. Juara I : Trophy Pemuda Tani Indonesia + Rp 3.000.000,00 + sertifikat
  2. Juara II : Trophy Rektor + Rp 2.000.000,00 + sertifikat.
  3. Juara III : Trophy Dekan + Rp 1.000.000,00 + sertifikat.
  4. Tiga Finalis : uang tunai Rp. 500.000 dan sertifikat.
  5. Empat Belas Grand Finalis : kenang-kenangan dan sertifikat
JURI
  1. Prof. Dr. Ir. Winiati Puji Rahayu,M.Si (Kepala Pusat Riset Obat dan Makanan BPOM).
  2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng (Angota Majelis Wali Amanat IPB, Mantan staf ahli Menristek ).
  3. Dr.Ir. I Wayan Astika, M.S (Kepala Bidang Pengembangan Sistem Jaringan Teknologi Kementrian Negara Ristek).
  4. Dr. Ir. Illah Sailah, M. (Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Institut Pertanian Bogor (P2SDM IPB))
  5. Dr. Ir. Purwiyatno Hanyadi, M.S (Ketua Seafast Center, IPB)
  6. Dr. Ir. Erliza Noo (Akademisi IPB)
  7. Dr.Ir. Dahrul Syah,M.Agr (Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB)
  8. Prayoga Suryadarma, S.TP, M.T (RAPID-IPB dan Peneliti Muda IPB)
  9. Dr. Ir. Tineke Mandang, M.S (Kepala CREATA, Dosen Alat Mesin dan Karya Tulis Ilmiah)

CONTACT PERSON
Dina (0811331522) atau Erlin (081383231151)
Atau len_08@ymail.com

Ngekost Yuk?!

“Masak…masak sendiri…., Makan…makan sendiri…, Cuci baju sendiri....,Tidur pun sendiri, hidup terasa sepi, tiada yang menemani, meranalaaaaahhh….aku merana”. kayak lagu bang Caca Andika aja nih, emangnya mau ngedangdut ya? Ups…! jangan mikir ini karena ditinggal istri ya! But karena hidup sendiri taouu…?

“Masa remaja tu, masa yang paling indah. Apalagi kalo kita hidup ngekost, jauh dari semuanya!” Demikian ungkapan orang yang ngebikin remaja penasaran pengen ngekost. Hal itu pula yang ngebikin nyesel bagi yang nggak pernah mencicipi gi mana sich rasanya ngekost. Apa memang kayak gitu ya soda (baca: sobat muda)?

Hidup ngekost memang lain dari yang lain. kehidupan remaja yang hidupnya ngekost emang jauh dari kehidupan dulu, jauh dari apa yang diharapkan, diinginkan and dibayangin. Orang ngekost tu bukan tanpa alasan. Ada yang karena pengen jauh dari ortu, ada yang juga pengen disebut laki-laki, tapi itu untuk cowok aja, ada yang pengen bikin hidup lebih hidup (emangnya lagi ngiklanin rokok Star Mild ya?) Ada juga karena harus ngelanjutin sekolah di luar tanah kelahirannya. Pokoke macem-macem dah, semuanya ada di sini (Kayak lagu rumah kita aja ya? Yang di bawain ama semua artis gitu).

Orang yang ngekost tuk pengen jauh dari ortunya and mo bikin hidup lebih hidup, biasanya sih alasannya simple aja. Waktu kita nanyain kenapa mo ngekost? Rata-rata pada ngejawab “Mmmm…gimana, ya? Susah deh ngungkapinnya. Pokoknya, happy aja. Ortu udah nggak ngatur-ngatur, boleh nonton film tanpa ortu, ke mana-mana sama temen nggak ada yang ngelarang, and yang paling wah banget, udah punya temen khusus alias pacar (he…he…he, nggak takut ma dosa tuh?!) pokoknya bebas…bas…bas, mantap terasa dah”.

Lanjutnya, “Jadi remaja tu nggak perlu mikir berat-berat, serius-serius, ntar cepet keriputan and punya lapangan bola pribadi di kepala. Yang penting kudu diinget, remaja tuh…hidupnya serba easy, serba instant, nggak perlu sulit-sulit yang penting masa kecil bahagia, masa muda foya-foya,tua kaya raya and mati masuk syurga, gitu loh?!”. Ucap mereka sambil ngobralin gigi mereka sambil cengengesan.

Memang sih, jadi remaja selalu pengen yang serba murah meriah and mudah. Tapi hidupkan nggak selamanya kayak gitu. Bener khan?. Ni jawabannya kalo pertanyaan itu ditodong ama aku. “hidup ngekost tu beda banget lo!” Ya,…maklumlah lagi ngekost di sebuah asrama universitas terkemuka di Aceh untuk lanjutin kuliah. Kalo gitu bagi soda yang pengen tahu lebih tentang hidup ngekost, nyok kita bahas bareng-bareng…(cieeeeh……., mo curhat nih?).

Apa Sih Enaknya Ngekost?
Hidup jauh dari ortu alias ngekost mang beda, bikin suasana hidup kayak permen nano-nano dengan macem-macem rasa buahnya. Hidup ngekost bikin kita jadi mandiri, semua kita kerjain serba mandiri, dari bersiin kamar sendiri, tidur sendiri, cuci baju yang dah seminggu nggak kecuci-cuci and masak nasi dulu baru bisa makan semuanya serba sendiri dah (kalo mau di reppotin ma urusan gituan, ya sewa pembantu lah!).

By the way kalo tentang “Kebersamaan”?. Yups, satu kata yang mengawali enaknya ngekost. Biar makan indomie ama telor ayam ras setiap hari nggak jadi masalah yang penting bisa ngumpul bareng teman, nggak ada loe kan nggak rame…(iklan lagi,…ni orang kebanyakan nonton TV kali ya?!, seompoerna hijau jadi andalan, hiks).

Memang atsmosfer (baca: kondisi and situasi) ngekost and ama ortu beda banget. Di asrama banyak pengalaman hidup yang bisa didapatin mulai dari orang-orang . yang sanggup bergadang semalaman just for nonton bola apalagi kalo ada Piala Dunia atau Liga Champions, keesokan harinya dah ancang-ancang tidur seharian. Dari yang kamarnya paling bersih and super harum, orang yang kamar penuh dengan warna and sifat kewanitaan, orang yang mandi cuma sekali dalam sehari and masih banyak lagi.

Banyak hal yang super asik dari ngekost yang nggak bakalan kamu dapetin kalo kamu ama ortu. Waktu bulan Ramadhan, suasananya mang berbeda banget. Apalagi kalo pada permulaan Ramadhan. Ketika makan Sahur datang, anak-anak asrama pada melengkingkan suaranya dengan teriakan “Sahur-sahur” dah jadi langganan pengganggu tidur lelapku. Emang sih suara itu mirip rintihan yang ngenyobek gendang telingga ketika subuh buta. Emang kesal sih, but suara itulah yang ngebikin kami semua terjaga dari mimpi indah and merasakan bagaimana indahnya suasana Ramadhan ama santapan sahur yang ngisi lambung kami. Kata “Sahur-sahur” emang rutin di ucappin ma anak-anak asrama yang dah lebih duluan bangun atau yang tadarusan sampe waktu sahur datang.

Apalagi kalo buka puasa, anak-anak asrama selalu nukar lauk-pauk hidangan bukaan. Sampe-sampe makanan buka puasa kurang lebih sepuluh macam. Pusing sih kalo sampai harus ngehabisin sekian macam jenis hidangan yang ada. Tapi itulah kebersamaan. Belum lagi kalo ntar kalo udah Tarawih, semua anak asrama pergi ke mesjid yang jaraknya nggak jauh-jauh amat sih, cuma sekitar dua puluh meter dari tempat kost. But, tetap dilakukan dengan penuh perjuangan. Suasananya emang dah persis kayak keluarga. Canda tawa dah jadi makanan harian kalo dah jalan ngelewatin jalan setapak arah ke mesjid.

Waktu Makmeugang (baca: hari berkurban, sebutan orang Aceh untuk nyambut hari raya), semua anak kost pada ngumpulin duit nyumbangin ke mesjid untuk beli hewan kurban. Ya, mumpung hari itu liburnya pendek banget jadi anak-anak asrama pada nggak Mudik, tapi semua anak asrama jadi panitia acara Makmeugang.
Asyik bener dah pokoknya. beragam kegiatan yang dilakuin ama anak-anak asrama yang laen, mulai dari yang motongi daging, nimbangin daging, ada juga yang kecemprot darah daging. So, jadi mandi darah deh. Mo tahu lebih banyak lagi, buruan jadi anak kost dong, sebelum habis!!! (emangnya barang apa?!).

Kalo Gitu, Nggak Enaknya Jadi Anak Kost Apa?
“Allahhu akbar, allahhu akbar, allahhu akbar, la ila haillahlah huallah hu akbar, allahu akbar wa lilah ilaham”, ini adalah kalimat yang membuat hati yang seharusnya senang menyambut hari yang fitri, e…eh tapi malah ngebuat hati jadi sedih. Untuk anak kost yang nggak Mudik (baca: pulang kampung) bikin hati nggak banget deh. Rasa rindu ma ortu and sanak family muncul tiba-tiba, air mata jatuh membasahi pipi bagaikan air hujan yang membasahi daratan yang gersang.

Termenung sejenak, mengenang suasana dikala lebaran yang biasanya bareang ama keluarga. Suasana di hari kemenangan yang biasanya di penuhi canda tawa keluarga, kini hanya sendiri. Tapi, semua itu hilang, tak kala semua anak-anak berkumpul sambil ngobrol bareng melepaskan tawa dihari nan fitri.

Bagi anak kost, yang ngekost di asrama tu ada lima anjuran yang perlu diketahui. Petama, HARAM untuk malas. Kedua, SUNAH untuk ngirit uang kiriman. Ketiga, MAKHRUH untuk sakit. Keempat, MUBAH tuk begadang semalaman and yang terakhir, WAJIB tuk belajar (kayak hukum syara’ah aja ni Ya?). layaknya aturan yang tadi, walaupun sakit termasuk hal yang makhruh, but sakit tuk anak kost sangat menyakitkan. Kebayang nggak kalo, di kala suatu malam kepala tiba-tiba nge-ROCK nggak karuan, badan nge-JAZZ ria because meriang, gigi nge-DANGDUT because gemeteran ditambah lagi kalo kita hanya sendiri nggak ada yang temenin. Bisa berabe tuh. Kalo aku mah langsung ngangkat tangan and ngaku kalah kalo ternyata aku kepilih jadi wadah persinggahan tu penyakit. Amit-amit dah pokoknya. Ampuuuu…n mas, ampun!

Nggak enaknya hidup ngekost di asrama emang nampak banget dari fakta, di mana kita kudu nunggu and ngantri di kamar mandi WC umum berjam-jam padahal udah kebelet bener (Budayakan ngantri mas! Bebek aja ngantri kok!). lagi asik belajar tiba-tiba temen nyuruh nganterin perlengkapan mandi ke kamar mandi gara-gara buru-buru tuk nge-BOKER ria (baca: buang air besar), harus makek system SKS (baca: System Kebut Semalam) kalo besok ada final atau kuis, tapi temen sebelah ngidupin musik besar-besar, ada juga karena anak-anak asrama lain pada buang sampah sembarangan. So, bikin penyakit datang apalagi kalo lalat masuk kamar. habis dah makanan dicicipi ama tu lalat. Kesel deh ama anak asrama kayak gituan.

Ada Pesan Bunda Nggak?
Ngekost di asrama and di tempat kost perumahan kayaknya sama aja. Sekali anak kost tetap anak kost. Jadi anak kost, bukan cuma nyantai-nyantai aja and nunggu inspirasi yang bakalan datang sendiri. Tapi anak kost itu kudu punya visi ama misi supaya jadi anak kost yang baik, sehat, smart, produktif, kreatif, and saleh tentunya, biar nggak ada omongan jelek dari orang kalo anak kost selalu bikin onar and bikin susah orang lain.

Ni ada beberapa tips buat soda, remaja yang pengen and dah jadi anak kost di koordinat masing-masing (kayak pesan Rene Descartes aja, penemu diagaram Cartesius. Huahahahahaha…!).
Pertama, ingat tujuan. Hidup ngekost jauh dari ortu. Mulanya nggak ada orang yang kita kenal and betapa banyak cobaan yang bakalan kita temuin selayaknya ujian ketika final. Yang satu ini emang bener-bener penting untuk kamu yang pengen jadi anak kost.. “Ingat Tujuan Hidup Mu Datang Kesini”, emang sih statement ini biasa aja, tapi berjuta teguran and nasehat yang harus soda ingat selama jadi anak kost (Ingat…ingat, Tiiiiing!). Kalo perlu tu tulisan ditempel di dinding kamar biar selalu kebayang di setiap langkahmu. Kalo soda datang kesini untuk ngeraih cita-cita and demi sebuah perubahan yang berarti, soda kudu ngegapai segala harapan dengan sungguh-sungguh dong. Jangan ekspresi aja yang gede kayak mount efferest tapi nyatanya kecil kaya amoeba. So, buktikan ekspresimu!

Kedua, “fokus”. Istilah kerennya, professional. Yaitu ngelakuin semuanya berdasarkan pengetahuan (knowledge), terampil (skill), pengalaman (experience) and sikap mental (attitude). “Lho, aku kan masih pelajar (baca: mahasiswa), apa dituntut professional?”. Ya iyalah! Substansinya memang kayak gitukan? contohnya, jika soda memilih jurusan eksakta, maka soda kudu dalamin benar-benar ilmu-ilmu alam. Pinter and terampil ngerjain tugas-tugas yang berhubungan dengan eksakta. Misalnya kayak matematika, fisika, kimia, biologi and lainnya. Untuk dapat menguasai itu semua kamu kudu terus berkecimpung disitu sehingga membentuk pengalaman, baik teoritis maupun praktis (he…he…he…kayak pakar pendidikan aja). Yang penting setelah itu adalah sikap mental, dengan mengejar ilmu dengan orientasi yang benar and kuat. Kemungkinan besar kamu pasti berhasil. Masih inget nggak kata bang Enstein CS, yang rada-rada kribo, “jangan mengganggap tugas belajarmu sebagai kewajiban, melainkan pandanglah itu sebagai sebuah kesempatan untuk menikmati betapa indahnya dunia ilmu pengetahuan. Kepuasaan hati yang diberikannya serta manfaatnya yang akan diterima oleh masyarakat apabila hasil jerih payahmu berhasil”.

Ketiga, jaga kesehatan. Bagi soda yang mo rasain hidup anak kost kudu berani tahan banting. Kudu siap menghadapi apa yang namanya sakit. Terserah mo sakit apa. Tapi jangan diundang dong. Bisa berabe tuh!
Supaya nggak kesentuh ama yang namanya sakit, soda kudu ngejaga kondisi tubuh supaya selalu fit and segar bugar. Minum banyak vitamin kayak A, B, C, D, …(lagi ngajarin anak TK huruf abjad ya?(^_^)he…he…he..), ngejaga makanan yang di makan. Bersih and sehat nggak? Juga makan buah-buahan. Jangan mentang-mentang anak kost jadi kudu selalu makan mie sama telor ayam melulu.

Keempat, hargai waktu. Memang sih jadi anak kost nggak ada yang larang, semuanya sesuka hati. Mau ini, mau itu ya sesuka hati kita. Ada pepatah bilang, “Waktu laksana sebilah pedang”. Kalo pemiliknya pinter gunainnya, pedang itu menjadi senjata yang paling ampuh untuknya. Sebaliknya, kalo ceroboh yang gunaiinnya and nggak terampil, pedang tu bisa ngelukain dirinya bahkan menebas lehernya sendiri. So, pinter-pinter bagi waktu dong.

Kelima, hargai orang lain. Memang hidup kost serba dikerjain sendiri , tapi nggak bikin hidup juga sendirikan? Kalo tinggal di kost kudu pinter ngejaga komunikasi ama orang lain dong, apa lagi ama tetangga kamar kost. Kan dia yang nolong kalo terjadi apa-apa. Kalo ada makanan dikit, ya dibagiin ama temen kost-an jangan pelit-pelit. Kalo soda punya kemampuan lebih terhadap pelajaran, pa salahnya sih kalo soda sudi ngebagi ilmu untuk rela ngajarin mereka yang kurang mampu. Dijamin dah soda nggak bakalan bangkrut ilmu. Kan kata pak guru “Semakin soda ngajarin orang lain, ilmu yang soda miliki bakalan melekat di kepala soda layaknya lem Alteco”. Dengan gitu soda bakalan punya banyak teman.

Keenam. Kira-kira kenapa kebanyakan orang (termasuk kita-kita kali ya?) suka kedatangan musim malas, kurang bersemangat, kurang bergairah gitu? Kalo suatu saat musim tuk bergairah and semangat, kudu dipanas-panasin bahkan suka maksa orang lain, biasanya yang rutin kita lakuin ma otru tuk nurutin semua pinta kita kan? Jangan ngeboong deh!
Emangnya kenapa sih, harus ortu yang selalu kasih nasehatin, perhatiin sampe teriak-teriak gitu? Pak guru juga nggak henti-hentinya cas, cis, cus nanamin betapa pentingnya belajar. Ustadz. Juga nggak mo ketinggalan tuk ngasi motivasi and kudu selalu rajin shalat lima waktu, baca Al-Quran setiap saat, pokoknya segala macem deh supaya bikin hidup kita jadi greeeen(emangnya Green Tea…!). Nah, itu emang udah jadi kewajiban kita kan?). So, to the point aja ya…, kalo kita dah jadi “anak kost”(cieeeh, nak kost nih), jangan lagi kudu disuruh-suruh and motivasi harus lahir dari diri kita sendiri. Perbuatan baik yang kita lakuin kan juga untuk diri kita sendiri.

Ketujuh, produktif dikit napa? Soda…! kata orang-orang, ciri orang yang produktif tu pasti bisa ngasilin duit! Soda setuju nggak? Belum tentu juga prokdutif itu artinya ngehabisin waktu buat ngeriset and duduk di depan computer dari pagi ampe pagi lagi Cuma untuk hal yang sia-sia. Apa lagi kalo produktifnya bisa ngejar prestasi setinggi-tingginya seperti ikut lomba tingkat provinsi, nasional sampe-sampe bisa dapat medali emas tingkat internasional (Wah, dijamin dah soda and ortu soda bakalan seneng banget sama prestasi yang soda raih). Nah, kalo dipahamin salah satu kriteria orang produktif adalah bisa ngasilin duit, boleh juga dong? Ya nggak apa-apa lah! Sambil Bantu ortu biar subsidi yang dikirimin tiap bulan nggak jadiin ortu yang dikampung cekak-cekak amat.

Soda…! Sebagai ungkapan terakhirku dari tips-tips tadi, aku and soda sebagai anak muda perlu diinget satu hal penting. Masa remaja hanya sekali, nggak akan pernah terulang lagi manakala telah terlewati. Jangan sampe masa itu terlewati sia-sia. Karena nggak bakalan ada kesempatan tuk perbaiki apalagi bahkan tuk ngulangin semuanya. Mungkin itu aja, tips-tips ampuh yang bisa soda cobain. Satu hal, bagi yang mo ngerasain and dah jadi anak kost. Jangan malu and takut jadi anak kost, memang sih banyak cerita orang kalo jadi anak kost identik dengan kesengsaraan. Tapi semua itu nggak benar, nikmatin aja oke! Nggak semua yang lho denger itu bener (lagi-lagi iklan….marbels pula jadi slogan). Selamat mencoba ya and selamat dapatkan title “anak kost sukses”.

Deadline: 4 Oktober 2008

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT) menjadi sebuah cara yang efektif dan efisien dalam menyampaikan informasi. Teknologi yang mendukung cara tersebut makin disempurnakan dari waktu ke waktu. Perkembangan TIK/ICT yang begitu cepat terkadang membuat kita belum siap untuk memanfaatkannya secara maksimal.
Di Indonesia sendiri, pemanfaatan TIK/ICT khususnya dalam pembelajaran masih sangat kurang. Sementara dalam menghadapi era globalisasi, pemanfaatan TIK/ICT menjadi sebuah kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja, terutama dalam belajar dan pembelajaran. Selain itu, kita juga dapat mengikuti setiap perkembangan baru di seluruh belahan dunia dengat mudah. Dengan kata lain, mau tidak mau kita harus mengetahui, memahami, menguasai bahkan mengembangkan teknologi tersebut agar tidak ketinggalan dalam perkembangan dunia yang makin global.
Dengan dasar pemikiran tersebut, SEAMEO Regional Open Learning Center (SEAMOLEC) berencana mengadakan Lomba Pemanfaatan TIK/ICT dalam bentuk Web dan Blog sekolah bagi Sekolah Lanjutan Pertama (SMP/MTs/SLB) dan Sekolah Lanjutan Atas (SMU/SMK/MA/MAK/SLB) dan Pesantren. Lomba ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian komunitas pendidikan terhadap perkembangan dan pemanfaatan TIK/ICT khususnya untuk pembelajaran.


Maksud dan Tujuan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk membantu mengurangi dan mempersempit kesenjangan dalam pemanfaatan TIK/ICT di bidang pendidikan serta saling berbagi (sharing) ilmu pengetahuan di antara sekolah-sekolah di Indonesia. Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan komunitas daring (online community) bagi guru dan siswa di tingkat pendidikan menengah dan penggunaan TIK/ICT dalam pembelajaran, agar dapat saling berbagi informasi dan pengetahuan berkenaan dengan TIK/ICT dan pembelajaran.
Secara khusus tujuan kegiatan ini adalah:
  1. membentuk komunitas pendidikan (educational community);
  2. berbagi pengetahuan dan keterampilan TIK/ICT berkenaan dengan bidang pendidikan;
  3. meningkatkan kemampuan guru dan siswa dalam pemanfaatan TIK/ICT untuk pembelajaran.
  4. saling berbagi ilmu pengetahuan, khususnya mata pelajaran yang diujikan di Ujian Akhir Nasional.

Judul Kegiatan
“Lomba Web dan Blog Sekolah Tingkat Nasional”
Pelaksanaan
  1. Pendaftaran: 1 Agustus – 4 Oktober 2008
  2. Pelaksanaan Pembuatan Web dan Blog Sekolah berakhir pada tanggal 4 Oktober 2008.
  3. Penilaian: 6 – 18 Oktober 2008
  4. Pengumuman pemenang : 20 Oktober 2008 (diumumkan melalui website: http://www.seamolec.org
  5. Penyerahan hadiah: 28 Oktober 2008 (diikutsertakan pada Upacara Hari Sumpah Pemuda)

Persyaratan
  1. Peserta lomba adalah semua sekolah tingkat SMP/MTs, SMU/SMK/MA/MAK, SLB, dan Pesantren,
  2. Peserta adalah sekolah yang belum pernah menjuarai lomba sejenis sebelumnya.

Kriteria Web dan Blog yang dilombakan
Secara umum Web dan Blog Sekolah menampilkan tingkat kepedulian sekolah terhadap pemanfaatan TIK/ICT dalam pembelajaran.
A. Penilaian Web akan mencakup informasi dan kriteria sebagai berikut.
  1. Desain Web
  2. Data dan Informasi Sekolah, yang a.l meliputi:
  3. Profil Sekolah
  4. Visi dan Misi
  5. Kegiatan Sekolah
  6. Berita Seputar Sekolah
  7. Taut ke luar (external link)
  8. Taut (link) ke minimal 1 (satu) blog Guru
  9. Taut ke minimal 1 (satu) blog Siswa
  10. Ditampilkan dalam Bahasa Indonesia
  11. Waktu pembuatan Web Sekolah dan Blog Guru maupun Siswa tidak harus bersamaan dengan waktu pendaftaran.

B. Penilaian Blog
1. Blog Guru
  1. Blog dapat menggunakan layanan khusus blog (misalnya wordpress, blogspot, blogdetik, dan lain-lain), namun harus terhubung / tertaut dengan web sekolah.
  2. Dapat menggunakan blog yang sudah ada atau sudah ditulis sebelumnya, tidak dipersyaratkan untuk dibuat pada tanggal tertentu.
  3. Artikel yang dinilai, harus dibuat atau ditulis antara tanggal 1 Agustus hingga 4 Oktober 2008 (dibuktikan dengan tanggal tulisan pada blog yang bersangkutan) dengan memasukkan tag ”lomba web log” dan ”SEAMOLEC”.
  4. Blog harus berisi informasi tentang penulis atau profil guru serta minimal 1 (satu) artikel tentang mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional.
  5. Artikel tentang mata pelajaran harus berisi bahan/materi ajar yang siap dibaca atau dipelajari oleh siswa dalam bentuk paparan 1 sub pokok bahasan secara lengkap disertai contoh soal dan pembahasannya, minimal 2 (dua) buah soal.

2. Blog Siswa
  1. Blog dapat menggunakan layanan khusus blog (misalnya wordpress, blogspot, blogdetik, dan lain-lain), namun harus terhubung / tertaut dengan web sekolah.
  2. Dapat menggunakan blog yang sudah ada atau sudah ditulis sebelumnya, tidak dipersyaratkan untuk dibuat pada tanggal tertentu.
  3. Artikel yang dinilai harus dibuat atau ditulis antara tanggal 1 Agustus hingga 4 Oktober 2008 (dibuktikan dengan tanggal tulisan pada blog yang bersangkutan) dengan memasukkan tag ”lomba web log” dan ”SEAMOLEC”.
  4. Blog harus berisi informasi penulis atau profil siswa serta minimal 2 (dua) artikel tentang ”pemanfaatan TIK di sekolahku” dan ”ekstrakurikuler di sekolahku”.
  5. Artikel tentang pemanfaatan TIK di sekolahku berisi tentang pengalaman penulis dalam menggunakan TIK di sekolah dan segala pernak-perniknya.
  6. Artikel tentang ekstrakurikuler di sekolahku berisi tentang pengalaman penulis dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan pernak-perniknya.
  7. Gaya tulisan bebas dan menggunakan bahasa Indonesia yang ”baik” dan ”komunikatif”.

Sistem Penilaian
  1. Peserta mengirimkan alamat Web Sekolah melalui e-mail kepada Panitia: lombablog@seamolec.org dan mendaftarkan webnya pada laman http://lombablog.seamolec.org
  2. Kriteria penilaian adalah sebagai berikut:
1. Web Sekolah (40%)
  1. Desain Visual (tata letak/layout, tipografi, dan warna)
  2. Navigasi dan Struktur
  3. Isi/konten (data dan informasi sekolah)
  4. Fungsionalitas
  5. Interaktivitas
2. Blog Guru (30 %)
  1. Desain Visual (pemilihan tema / themes)
  2. Profil Guru
  3. Artikel Mata Pelajaran (Kesesuaian dengan kurikulum, kemudahan, keterbacaan, kelengkapan materi, tambahan foto dan gambar, serta kejelasan pembahasan soal)
  4. Interaktivitas (Komentar pada blog)
3. Blog Siswa (30 %)
  1. Desain Visual (pemilihan tema / themes)
  2. Profil Siswa
  3. Artikel Pemanfaatan IT di Sekolah (gaya bahasa, gaya bertutur, foto, dan gambar)
  4. Artikel Ekstrakurikuler di Sekolah (gaya bahasa, gaya bertutur, foto, dan gambar)
  5. Interaktivitas (Komentar pada blog)

Pendaftaran
Pendaftaran dilakukan secara daring (online) melalui email lombablog@seamolec.org dan website: http://lombablog.seamolec.org
Hadiah
  1. Juara I : Trofi dan uang Rp. 10.000.000
  2. Juara II: Trofi dan uang Rp. 7.500.000
  3. Juara III: Trofi dan uang Rp. 5.000.000
Bagi Pemenang dari luar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok, biaya transportasi dan akomodasi pada waktu penyerahan piala ditanggung oleh Panitia.

 
rianprestasi.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com